Pergerakan serapan belanja daerah di Pemprov Jatim belum menunjukkan angka yang menggembirakan. Hingga memasuki triwulan keempat, posisi serapan anggaran baru mencapai 53,57 persen per tanggal 23 Oktober. Sementara capaian pendapatan daerah telah mencapai angka 77,83 persen.
Catatan serapan anggaran terendah di Pemprov Jatim sekaligus memberi status merah pada dua instansi yang serapannya kurang dari 30 persen. Di antaranya ialah UPT RS Mohammad Noer Pamekasan yang berada di peringkat terakhir, dengan serapan anggaran sebesar 24 persen dari pagu anggaran Rp 103 miliar.
Selain itu, BLUD SMKN 1 Kalipuro Banyuwangi juga masuk kategori merah dengan serapan 24,89 persen dari pagu anggaran Rp 1,3 miliar. Sementara itu, OPD dengan peringkat terendah adalah Dinas Kesehatan (Dinkes) Jatim yang baru merealisasikan serapan 30,47 persen dengan pagu anggaran Rp 598 miliar.
Terkait serapan anggaran tersebut, Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak menegaskan, bahwa Gubernur Khofifah selalu memberikan atensi terhadap progres dari setiap program yang direncanakan. Apalagi dalam PAPBD ada tambahan-tambahan yang perlu terus dipantau progresnya. Karena biasanya program yang diletakkan di PAPBD adalah program yang harus gerak cepat. “Itu dipantau terus dan memang ada beberapa yang secara fundamental ada isu. Sehingga berpengaruh terhadap penyerapan sedikit. Tapi pada umumnya on the track,” tutur Emil, Kamis (24/10).
Ditanya terkait target serapan, Emil mengaku masih harus berkonsultasi dengan Gubernur Jatim. Prinsipnya tidak ada masalah yang signifikan dalam agregat. Tapi kalau dilihat per unit, Emil mengaku ada hal-hal yang cukup menjadi alasan.
Khususnya terkait dengan dana pusat, nomenklaturnya dan isu tertentu terkait pembelanjaannya yang sudah tercatat sebagai pagu tapi tidak bisa terserap . “Misalnya sekolah sekarang sudah tidak ada SPP lagi karena ada tistas tapi dicatat sebagai pagu. Maka kemudian ada perbedaan pagu,” tutur Emil.
Selain itu, serapan anggaran juga dipengaruhi mekanisme pencatatan, petunjuk pelaksanaan (Juklak) yang membatasi pelaksanaan. Misalnya belanja rumah sakit yang terhambat karena belum ada pembayaran BPJS. Karena asumsi pagu juga bergantung pada cash flow dari BPJS.
“Ada juga kontrak yang sudah dilaksanakan tetapi masih dalam proses pembayaran. Dan itu wajar terjadi karena invoicing dari vendor-nya sehingga catatan yang dipunya tidak sesuai,” tutur Emil.