Komisi D DPRD Jember mempertanyakan perencanaan pengadaan dan pengelolaan obat di Dinas Kesehatan (Dinkes) Jember. Sebab, ternyata selama ini ada obat kedaluwarsa dan bahan medis habis pakai (BMHP) di Kabupaten Jember yang nilainya sampai miliaran rupiah.
Berdasarkan data dari Dinkes Jember, nilai obat kedaluwarsa itu mencapai Rp 6,2 miliar. Obat itu akumulasi dari tahun 2016 sampai tahun 2021 dan dimohonkan untuk dimusnahkan pada 2022 ini.
Obat-obatan tersebut memang sudah afkir alias kedaluwarsa karena tidak terpakai akibat beberapa hal. Antara lain pandemi Covid-19 menyebabkan pola penyakit berubah, sehingga pelayanan Puskesmas berkurang terutama untuk rawat inap.
Hal ini terungkap setelah Komisi D memanggil Dinkes, BPJS Kesehatan, dan direksi tiga rumah sakit milik Pemkab Jember dalam rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi D DPRD Jember, Senin (1/8/2022). Ketua Komisi D, Hafidi mengaku heran bahwa nilai obat kedaluwarsa sampai miliaran rupiah.
“Awalnya kami menemukan surat perihal obat kedaluwarsa ini, dan nilainya miliaran rupiah. Beberapa ratus juta dari Puskesmas. Kok bisa ada seperti ini (obat kedaluwarsa bernilai miliaran), kan artinya buang-buang uang. Bagaimana perencanaannya. Sedangkan yang merencanakan ini kan bukan sembarangan, tetapi para dokter,” tegas Hafidi saat memulai rapat.
Komisi D pun mempertanyakan obat kedaluwarsa yang dibeli melalui uang negara di program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). “Kenapa juga yang sumbernya dari JKN itu sampai ada yang kedaluwarsa. Perencanaannya bagaimana,” tambahnya.
Plt Kepala Dinkes Jember, dr Lilik Lailiyah mengakui obat kedaluwarsa itu senilai Rp 6,2 miliar, akumulasi dari tahun 2016 – Desember 2021. Obat kedaluwarsa itu ada di Instalasi Farmasi Kesehatan (IFK) Dinkes senilai Rp 3,7 miliar, dan ada di Puskesmas senilai Rp 2,5 miliar.
Obat kedaluwarsa itu, antara lain berasal dari pengadaan yang memakai Dana Alokasi Khusus/Dana Alokasi Umum, juga dropping dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Sedangkan obat yang di Puskesmas dibeli memakai dana kapitasi dari program JKN senilai Rp 600 juta lebih, juga obat yang didistribusikan dari Gudang IFK.
“Setelah kami verifikasi, total keseluruhan senilai Rp 6,2 miliar. Obat kedaluwarsa ini yang sedang kami mohonkan untuk dimusnahkan,” ujar Lilik.
Dinkes Jember menunggu proses pemeriksaan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk pemusnahan obat dan BMHP ini. Ia menyebut alasan masih ada obat tersisa, sampai akhirnya kedaluwarsa.
Beberapa penyebabnya adalah pandemi Covid-19 yang menyebabkan pola penyakit berubah sehingga pelayanan Puskesmas berkurang terutama rawat inap.
Kemudian pengadaan obat berdasarkan konsumsi tahun sebelumnya, yang tidak bisa persis sesuai kebutuhan tahun berjalan. Juga ada sisa obat yang penggunaannya berkurang sehingga menyebabkan masa kedaluwarsa setiap tahun ada.
Juga ada faktor obat-obat program kiriman dari Dinkes provinsi tidak dapat dikembalikan walau masa kedaluwarsa dekat/pendek. Termasuk karena selama pandemi, obat program tidak dapat disalurkan karena pelaksanaannya di sekolah.
“Seperti tablet tambah darah untuk remaja putri yang diberikan ekpada anak sekolah. Tidak bisa diberikan karena sekolah banyak dilakukan secara daring selama pandemi,” ujar Lilik.
Upaya perbaikan yang akan dilakukan Dinkes adalah, tim perencanaan obat terpadu fokus untuk menyusun formularium obat Puskesmas di Kabupaten Jember, kemudian perbaikan manajemen pengelolaan obat di Puskesmas, serta perbaikan melalui aplikasi SIM obat untuk meningkatkan pemantauan dan pengendalian mutu obat.
Banyaknya obat dan BMHP kedaluwarsa ini memang menimbulkan pertanyaan dari sejumlah anggota Komisi D. Anggota Komisi D yang hadir seperti Ardi Pujo Prabowo, Sucipto, juga Ach Dhafir Syah menyuarakan keheranan mereka.
“Karena kalau nilai obat kedaluwarsa saja sampai Rp 6 miliar, maka itu bisa untuk biaya operasional dua Puskesmas. Itu jika rata-rata biaya operasional satu Puskesmas Rp 3 miliar,” ujar Dhafir.
Sehingga Komisi D, selanjutnya, akan meneruskan kembali RDP tentang pengelolaan obat itu, melibatkan dengan beberapa pihak lain seperti Puskesmas. Hal ini untuk mencari tahu penyebab utama sampai ada obat yang tidak terpakai, sampai akhirnya kedaluwarsa dan harus dimusnahkan.
“Jika masalahnya ada di Kementerian Kesehatan, kami akan melaporkan hal ini kepada DPR RI yang bermitra dengan Kementerian Kesehatan. Supaya ini diatur,” tegas Dhafir.
Sumber: surya.co.id