MCW Soroti Pelanggaran Anggaran Perjalanan Dinas OPD Kabupaten Malang

1015

Malang Corruption Watch (MCW) kembali menyoroti Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Malang. Khususnya yang dialokasikan pada perjalanan dinas (perdin) tahun anggaran 2020. MCW menilai ada penganggaran yang tidak sesuai dengan perundang-undangan.

Apalagi ternyata hal itu sudah menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan juga telah tertuang di dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP).

Disebutkan kebijakan pengaturan perdin dalam daerah dan luar daerah dalam Provinsi Jawa Timur tidak selaras dengan Peraturan Kementerian Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2019.

“Hal itu mengakibatkan Pemkab Malang kehilangan kesempatan untuk berhemat dari anggaran biaya transportasi yang dibayarkan secara lumpsum (riil; bayar sekaligus). Perjalanan dinas tersebut tidak dilengkapi dengan bukti perjalanan sebesar Rp 1.528.944.569,” ujar Janwan Tarigan dari divisi riset dan informasi MCW, Kamis (7/10/2021).

Berdasarkan LHP BPK tersebut, MCW menjabarkan ada sebanyak 5 organisasi perangkat daerah (OPD) yang dinilai melakukan pertanggungjawaban tidak sesuai dengan ketentuan. Besarnya Rp 177.143.000.

Kelima OPD tersebut adalah Dinas Perhubungan (Dishub), Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud), Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD), Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Kecamatan Ngajum.  “Temuan ini kabarnya sudah dikembalikan ke kas daerah sebesar Rp 133.228.000,” imbuh Janwan.

Selain itu, dari catatan MCW, temuan serupa juga ditemukan dalam LHP BPK tahun 2019. Temuan BPK menunjukkan realisasi biaya perjalanan dinas luar negeri tidak sesuai ketentuan sebesar Rp 140.000.000. Pasca temuan BPK tersebut, Pemkab Malang mengembalikan ke kas daerah.

MCW menilai, temuan BPK dalam dua tahun berturut-turut tersebut memperlihatkan pola penyebabnya. Yakni karena faktor kelalaian dan faktor kesengajaan. Faktor kelalaian terjadi karena pejabat terkait belum mengetahui aturan yang berlaku sehingga menyebabkan potensi kerugian negara.

“Sementara faktor kesengajaan terjadi dengan tujuan meraup keuntungan dari anggaran publik. Publik bertanya, apakah temuan yang terjadi berulang pada belanja perjalanan dinas disebabkan faktor kelalaian atau ada unsur kesengajaan? Jika karena kelalaian, tentu tidak akan terjadi berulang. Adanya temuan berulang ini menunjukkan Pemkab Malang tidak belajar dan berbenah atas catatan BPK pada tahun sebelumnya,” ucap Janwan.

MCW pun berpendapat bahwa pengembalian kerugian negara ke kas daerah tidak menghilangkan atau menghapuskan unsur pidana yang terkandung di dalamnya.

“Seolah diselewengkan dulu. Jika ditemukan BPK, ya dikembalikan. Toh juga tidak ada sanksi hukumnya. Atau setidaknya uangnya dipakai dulu sebelum dikembalikan bertahap,” terang Janwan.

Hal tersebut juga berdasarkan pada Pasal 4 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Yakni menyebut bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.

Selain itu, jika merujuk pada pasal 2 UU 31 tahun 1999, dijelaskan bahwa unsur dapat merugikan negara dalam tindak pidana korupsi merupakan delik formil. Yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Dengan demikian, suatu perbuatan yang berpotensi merugikan keuangan negara sudah dapat dikategorikan sebagai korupsi.

Sumber: jatimtimes.com