Temuan LHP Kasdagate dan Tunjangan Ganda DPRD Terbesar Belum Ada Tindak Lanjut, BPK Terus Menagih

387

Kerugian negara akibat sejumlah kasus korupsi yang pernah terjadi di Kabupaten Situbondo menjadi ”warisan” turun-temurun dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya yang terus dicatat oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia. Sebab itulah, dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK semester I tahun 2022, akumulasi jumlah kerugian negara tersebut semakin membengkak.

Data yang dihimpun Jawa Pos Radar Situbondo, setidaknya total kerugian negara mencapai Rp 92 miliar. Ini merupakan hasil pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaaan BPK. Angka itu terhitung sejak tahun 2005 silam hingga tahun 2022.

Misalnya, pada tahun 2005 di masa pemerintahan Bupati Diaaman, ada LHP BPK yang hingga kini masih belum seratus persen selesai ditindaklanjuti. Terdapat kekurangan setor kerugian negara akibat pembayaran ganda tunjangan panitia pada kegiatan DPRD Situbondo senilai Rp 1,094 miliar dari total kerugian Rp 2,7 miliar.

Selain itu, masih di tahun 2005, juga ada kekurangan setor sebesar Rp 204 juta karena pemberian biaya perjalanan dinas tetap anggota DPRD dari total kerugian Rp 1,078 miliar. Yang paling besar adalah di tahun 2008 yakni kasus korupsi kasdagate di masa kepemimpinan Bupati Ismunarso. Masih terdapat kekurangan setor sebesar Rp 43 miliar.

Kemudian pada tahun 2018 pada masa pemerintahan Dadang Wigiarto, terdapat kekurangan setor sebesar Rp 414 juta akibat dugaan korupsi bendahara di Sekretariat DPRD Kabupaten Situbondo. Pada tahun 2019 juga terdapat kekurangan setor sebesar Rp 683 juta karena sembilan pemerintahan desa tidak tertib dalam mempertanggungjawabkan penggunaan dana desa.

Sedangkan di masa pemerintahan Bupati Karna Suswandi, LHP BPK yang hingga kini masih belum seratus persen selesai ditindaklanjuti adalah kekurangan setor sekitar Rp 410 juta karena pengelolaan keuangan di bendahara pengeluaran, Kecamatan Mangaran. Kasus pidana ini masih menunggu hasil putusan pengadilan karena sampai sekarang belum inkrah.

Sementara itu, Kepala Subauditorat Jawa Timur IV BPK Jawa Timur Ian Kartiwan menyatakan, ketika BPK sudah merilis LHP, maka temuan atau rekomendasi tersebut wajib ditindaklanjuti dalam waktu 60 hari sejak LHP diterima. Jika tidak, maka akan terus terakumulasi. ”LHP BPK itu memotret seluruh tindak lanjut dari awal tahun 2000-an sampai sekarang. Sehingga wajar jika menjadi besar,” terangnya.

Meski demikian, Ian menegaskan BPK tidak pernah melakukan ranking terbaik dan terburuk dalam tindak lanjut temuan BPK. Apalagi sampai memberikan narasi ”lima kabupaten dengan potensi korupsi terbesar”. BPK hanya merilis laporan jumlah kerugian negara yang ditindaklanjuti tiap semester. ”Yang kami laporkan setiap semester itu adalah progres tindak lanjut angkanya berapa,” jelasnya.

Ian mencontohkan, temuan LHP yang paling besar di Kabupaten Situbondo adalah tahun 2008 yakni kasdagate sebesar Rp 43 miliar. Kasus korupsi ini sudah memiliki kekuatan hukum tetap dari Mahkamah Agung. Namun demikian, dalam hukum administrasi negara, sesuai UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 64 Ayat (2), bahwa putusan pidana tidak membebaskan atas tuntutan ganti rugi.

BPK, kata Ian, sebenarnya juga punya kepentingan agar angka kerugian negara yang masuk dalam LHP bisa terkurangi dari tahun ke tahun. ”Jadi kami sempat ngorek lagi sebenarnya posisi (tindak lanjut Kabupaten Situbondo terhadap temuan BPK) itu di mana? Kami belum memperoleh adanya surat-menyurat atau pun berkas tindak lanjut yang memang ada usulan dari Pemkab Situbondo bersurat ke BPK untuk segera dihapuskan,” ungkapnya.

Sebab itulah, Ian menyarankan agar pemkab mengecek lagi apakah pernah ada surat-menyurat ke BPK. Jika memang sudah ada, posisinya sejauh mana. ”Karena untuk penyelesaian kerugian yang disebabkan oleh bendahara wajib dilaporkan ke pusat, di sana ada majelisnya untuk dilakukan penyelesaian peninjauan. Jika memang dinyatakan selesai, maka bisa disesuaikan dari posisi tindak lanjut,” terangnya.

Sumber: Radar Banyuwangi