Presiden Tegur Kemenpora dan Kemensos – Bersama TVRI-Komnas HAM, Tak Susun Lapkeu dengan Baik

740

Laporan keuangan (lapkeu) empat kementerian/lembaga (K/L) mendapat sorotan dari Presiden Joko Widodo. Keempatnya tidak menyusun lapkeu dengan baik sehingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kesulitan untuk mengaudit. Alhasil, BPK memilih untuk tidak memberikan pendapat (disclaimer).

Presiden menuturkan, untuk kali pertama, lapkeu pemerintah menggunakan basis accrual. Itu diakui memang tidak mudah. Sebab, K/L harus menambahkan tiga laporan. ’’Yaitu laporan perubahan ekuitas, laporan operasional, dan laporan perubahan SAL (Saldo Anggaran Lebih). Tidak mudah,’’ terangnya di Istana Negara, kemarin (6/6).

Dalam kondisi tersebut, jumlah K/L yang mendapat disclaimer sebenarnya turun bila dibandingkan dengan 2014. Pada tahun tersebut, ada tujuh K/L yang mendapat disclaimer dari BPK. Sedangkan pada 2015 ada empat. ’’Tahun ini saya sebutkan lagi. Supaya diingat-ingat, supaya tahun depan tidak terulang lagi,’’ lanjutnya.

Keempat K/L itu adalah Kementerian Sosial (Kemensos), Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI, dan Komnas HAM. Menurut dia, penilaian BPK tersebut perlu menjadi catatan tersendiri bagi empat K/L. Selain itu, masih ada rekomendasi BPK yang belum ditindaklanjuti. Baik oleh yang mendapatkan disclaimer, wajar tanpa pengecualian (WTP), maupun wajar dengan pengecualian (WDP).

Pada 2015, ada 56 K/L yang mendapatkan predikat WTP dan 26 K/L yang memperoleh WDP. Karena itu, dia meminta K/L untuk segera menyelesaikan tanggungan-tanggungan tersebut. ’’Jangan ada yang bermain-main dengan uang rakyat,’’ tambahnya.

Ketua BPK Harry Azhar Azis menjelaskan, secara umum, laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) tahun ini belum bisa dikatakan sempurna. ’’Atas LKPP tahun 2015, BPK memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian,’’ ujarnya saat paparan di hadapan Presiden, kemarin. Opini tersebut sama dengan 2014.

Ada enam permasalahan yang ditemukan BPK. Pertama, laporan Investasi Penyertaan Modal Negara untuk PLN yang laporannya tidak disajikan secara audited. Kedua, pemerintah belum menetapkan status dana yang didapat dari keuntungan HET (harga eceran tertinggi) solar subsidi sebesar Rp 3,19 triliun. Ketiga, piutang bukan pajak Rp 1,82 triliun tidak didukung dokumen sumber yang memadai.

Keempat, status penyerahan persediaan di Kemenhan sebesar Rp 2,49 triliun dan di Kementan senilai Rp 2,33 triliun belum bisa dijelaskan. ’’Kelima, pencatatan dan penyajian catatan SAL tidak akurat, sehingga kewajaran transaksi atau saldo terkait SAL sebesar Rp 6,6 triliun tidak dapat diyakini,’’ lanjutnya. Keenam, koreksi-koreksi pemerintah terkait ekuitas dan transaksi antar entitas tidak didukung sumber dokumen yang memadai.

[Selengkapnya …]