Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ragu akan validitas data yang digunakan pemerintah dalam keputusan impor pangan. Karena itu, kata Anggota IV BPK, Rizal Djalil, BPK menyoroti impor pangan yang dilakukan pemerintah lantaran kerap menimbulkan beragam masalah. “Impor pangan menimbulkan gejolak harga dan petani dirugikan karena harga jadi anjlok,” katanya, kemarin.
BPK mengaudit kebijakan pangan untuk melihat benar tidaknya keputusan impor oleh pemerintah. Menurut Rizal, BPK menemukan fakta mengenai metode pengumpulan data pangan yang tidak kredibel di lapangan dan rawan manipulasi. Salah satunya adalah perbedaan data konsumsi beras antara Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik. Pemerintah menyatakan angka konsumsi 139,15 kilogram per kapita per tahun, sedangkan prognosa BKP 124,89 kg per kapita per tahun. Adapun Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan angka konsumsi beras sebesar 114,13 kg per kapita per tahun.
“Pemerintah belum menggunakan hasil survei BPS untuk menyusun prognosis ketersediaan dan kebutuhan pangan.”
Rizal menjelaskan, kesalahan juga terjadi dalam hal laporan produktivitas di lapangan. BPS dan Kementerian Pertanian melakukan pengumpulan luas panen dengan mengandalkan Dinas Pertanian setempat. BPK menemukan data luas panen itu dihitung oleh Kepala Cabang Dinas (KCD). Rupanya rekrutmen KCD ini dilakukan tanpa syarat kompetensi dan proses seleksi. KCD juga tidak pernah menerima pelatihan terkait cara menghitung luas panen bahkan dengan cara sebatas pandangan mata. Di lain pihak, KCD ini dibebani oleh target produksi padi. “Kondisi ini menimbulkan konflik kepentingan.”
BPK pun menilai BPS tidak kredibel dalam mendesain pengendalian aplikasi perhitungan data pangan. Data-data pangan yang masuk melalui sistem online tidak diberi kata sandi (password) sehingga setiap orang bisa membuka dan mengubahnya kapan saja. Selain itu, tidak ada verifikasi pada setiap data yang di-input. Akibatnya, BPK menemukan ketidakakuratan data pangan di mana data luas lahan pangan dikeluarkan BPS berbeda dengan luas lahan sawah menurut data Badan Pangan Nasional (BPN).
Temuan lainnya adalah belum ditetapkannya angka cadangan pangan ideal. Sebetulnya Kementerian Pertanian pernah mengkaji dan menyimpulkan cadangan beras yang harus dimiliki pemerintah sebesar 1,52-1,85 juta ton. “Tapi pemerintah tak menetapkan hasil kajian itu sebagai angka cadangan resmi pemerintah,” kata Rizal.
BPK juga menemukan indikasi masalah dalam proses pengambilan keputusan impor beras. Data stok Bulog sebagai salah satu pemicu rasionalisasi impor beras yang digunakan dalam Rapat Koordinasi Terbatas Pemerintah belum memperhitungkan stok cadangan beras pemerintah.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengakui adanya anomali harga pangan. Padahal berdasarkan data, semestinya tak terjadi kenaikan harga. Namun persoalan ini, menurut dia, tak hanya dipengaruhi kebijakan impor, tapi juga panjangnya mata rantai pasokan. “Luar biasa masalahnya dari hulu ke hilir, ini harus kita atasi bersama. Jadi kami sepakat memakai data BPS ke depan,” kata dia.
Adapun Menteri Perdagangan Thomas Lembong menyebut keputusan impor pangan selalu diputuskan dalam forum bersama Menteri Koordinator Perekonomian. “Data dan pertimbangan yang digunakan pasti sudah dibahas dengan saksama.”