Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan negara mengalami kerugian hingga Rp 1,9 triliun berdasarkan pemeriksaan sepanjang semester pertama 2016. Ketua BPK Harry Azhar Azis mengatakan sebanyak 48 pemeriksaan pada semester pertama dilakukan untuk tujuan tertentu. “Hampir seluruhnya hasil pemeriksaan keuangan,” kata Harry dalam sidang paripurna di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, kemarin.
Menurut Harry, dari 696 laporan hasil pemeriksaan (LHP) pada IHPS Semester pertama 2016, 116 LHP merupakan pemeriksaan di lembaga pemerintah pusat. Sebanyak 551 LHP pada pemerintah daerah, dan 29 LHP pada badan usaha milik negara dan badan lainnya.
BPK mengungkap 10.198 temuan dengan 15.568 permasalahan. Sebanyak 7.661 masalah terkait dengan kelemahan sistem pengendalian internal dan 7.907 masalah ketidakpatuhan pada perundang-undangan. Nilai total ketidakpatuhan itu mencapai Rp 44,68 triliun. “Dari masalah ketidakpatuhan itu, 4.762 merupakan masalah yang berdampak finansial Rp 30,62 triliun,” ucap Harry.
Dalam dokumen Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I, ada 3.163 temuan yang membawa dampak finansial, dengan nilai kerugian Rp 1,9 triliun. Ada juga 421 masalah yang menimbulkan potensi kerugian Rp 1,6 triliun berikut kekurangan penerimaan Rp 27 triliun. Menurut Harry, selama pemeriksaan, sudah ada satuan yang menindaklanjuti dengan menyerahkan aset ke negara sebesar Rp 442 miliar.
Harry mengatakan BPK akan membawa hasil pemeriksaan tersebut ke ranah hukum, terutama untuk laporan mengandung unsur pidana. BPK meminta kesempatan kepada DPR untuk menjelaskan hasil pemeriksaan di setiap komisi. “Untuk memperjelas menyangkut audit dengan tujuan tertentu. Apalagi yang aspeknya pro-yustisia dan tidak bisa dibuka ke publik,” kata Harry.
Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan berjanji akan menindaklanjuti IHPS Semester I dari BPK tersebut. Taufik mengingatkan adanya sanksi pidana atau denda bila tidak menindaklanjuti rekomendasi BPK. “Ini yang perlu ditekankan,” ujarnya.
BPK mengadakan sejumlah pemeriksaan untuk tujuan tertentu, di antaranya, proyek tenaga listrik 2011-2014 yang meliputi pembangunan pembangkit dan jaringannya. BPK menemukan 166 paket pekerjaan dari total 168 paket yang belum selesai dan izinnya dihentikan, tapi pemerintah telah membayar uang muka proyek. “Masalah tersebut mengakibatkan kerugian negara atas uang muka yang belum dikembalikan penyedia jasa,” demikian kutipan laporan BPK.