Pengelolaan jaminan kesehatan di RSUD dr H Slamet Martodirdjo menjadi sorotan. Sebab, klaim jaminan yang terutang di rumah sakit plat merah tersebut mencapai puluhan miliar. Muncul tudingan ada rekayasa data.
Aktivis antikorupsi melaporkan dugaan rekayasa data klaim jaminan kesehatan itu kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Pamekasan Senin (9/10). Dalam laporan tertulis itu juga disertakan laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK RI 2015.
Abd. Rahem, pelapor mengatakan, ada beberapa kejanggalan dalam laporan keuangan yang disusun pihak rumah sakit. Salah satunya mengenai klaim jaminan kesehatan yang diajukan kepada BPJS Kesehatan.
Dijelaskan, pada 2014, klaim jaminan kesehatan di rumah sakit tersebut mencapai Rp 10.110.403.823. Kemudian, setahun kemudian, yakni 2015, meningkat signifikan menjadi Rp 17.487.760.300.
Dengan demikian, total klaim pending selama dua tahun anggaran di rumah sakit tersebut mencapai Rp 27.598.164.123. ”Klaim itu adalah usulan rumah sakit yang tidak disetujui oleh BPJS,” katanya Senin (9/10).
Rahem menyampaikan, berdasarkan audit BPK, BPJS menolak mencairkan klaim itu disebabkan beberapa faktor. Yakni, berkas persyaratan pengajuan klaim tidak lengkap. Resume tidak jelas dan tidak ada tanda tangan pihak berwenang.
Kemudian, berkas penunjang diagnosis kurang lengkap. Lalu, kebenaran diagnosis primer dan sekunder diperdebatkan. Terakhir, ditemukan penggunaan kartu tidak sesuai dengan identitas pemilik.
Dugaan data klaim itu fiktif menguat setelah pihak rumah sakit tidak bisa memperbaiki berkas yang dinyatakan tidak lengkap. Dari total klaim terutang Rp 27.598.164.123, yang diajukan kembali hanya Rp 1.913.152.600.
Sementara sisanya, tidak diajukan ulang. Dengan begitu menjadi beban keuangan rumah sakit. Seharusnya, jika data klaim jaminan kesehatan itu valid, tidak ada perubahan dalam pengajuan kedua. ”Dugaan kami, data klaim itu memang fiktif,” katanya.
Rahem menyampaikan, tidak diajukannya piutang itu hingga batas akhir menyalahi aturan. Yakni, Permendagri 59/2007 tentang perubahan atas Permendagri 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Dijelaskan dalam pasal 149 ayat (1), setiap piutang daerah diselesaikan seluruhnya tepat waktu. Sementara, piutang tagihan itu tidak diselesaikan sampai 28 April 2016. Akibatnya, berpengaruh pada keuangan rumah sakit.
Tindakan manajemen rumah sakit itu jelas bertentangan dengan hukum. Dengan demikian, atas laporan itu, dia berharap penegak hukum menindaklanjuti dan memproses secara profesional.
Direktur RSUD dr H Slamet Martodirdjo Farid Anwar mengatakan, tidak ada kerugian negara dalam klaim pending itu. Justru, rumah sakit yang dirugikan lantaran tagihan jaminan kesehatan di-pending.
Farid mengatakan, prosedur pengajuan klaim itu kali pertama diusulkan oleh pihak rumah sakit kepada BPJS. Kemudian, pihak BPJS melakukan verifikasi. ”Misalnya yang kami ajukan Rp 1 juta tapi menurut BPJS Rp 800 ribu, sisanya itu yang dianggap piutang,” katanya.
Mengenai LHP BPK itu, Farid mengaku sudah ditindaklanjuti dengan cara memperbaiki administrasi. ”Negara dirugikan dari mana. Itu lagu lama yang diputar kembali,” tandasnya.
(mr/pen/han/bas/JPR)
Sumber: jawapos.com/radarmadura