Silpa APBD Bojonegoro Tahun 2021 Diperkirakan Tembus Rp 2,3 Triliun

2451

Besaran sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa) APBD Bojonegoro tahun 2021 diperkirakan tembus Rp 2,3 triliun. Tingginya silpa itu, sudah terjadi semenjak 2019 lalu, karena transfer dari pemerintah pusat biasanya di akhir tahun.

“Silpa menjadi besar karena sisa anggaran di tahun sebelumnya,” kata Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Bojonegoro, Lasuri.

Dia mengatakan, adanya transfer dari pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi di akhir tahun membuat besaran silpa menjadi besar. Sebab, dari APBD 2021 sebesar Rp 6,2 triliun baru terserap Rp 5,075 triliun. Artinya, lanjut dia, masih ada sekitar Rp 1,2 triliun anggaran yang tidak terserap.

Sedangkan, estimasi pendapatan yang dimasukkan di P-APBD 2021 itu tercantum Rp 4,2 triliun. Ternyata, Lasuri melanjutkan, pendapatan di akhir 2021 ini melampaui target mencapai Rp 5,27 triliun.

“Sehingga, prediksi saya dari sisa 2021 ditambah target pendapatan menjadi Rp 2,3 triliun bahkan bisa lebih. Namun, jumlah itu belum pasti karena menunggu audit dari BPK,” jelasnya, Kamis (6/1/2021).

Lasuri menuturkan, silpa berasal dari anggaran tahun-tahun sebelumnya dan murni dari sisa belanja. Apalagi, ada tambahan dari realisasi yang melampaui target utamanya DBH Migas.

Tentu, lanjut dia, bertambahnya silpa juga karena penyerapan dari organisasi perangkat daerah (OPD) yang rendah. Sehingga, hal ini menunjukkan OPD Pemkab Bojonegoro kurang maksimal mengeksekusi kegiatan di tahun sebelumnya.

“Saya belum tahu detail OPD yang serapannya rendah, karena belum ada laporan. Rencananya pada 12 Februari Banggar akan menjadwalkan TAPD untuk klarifikasi terkait serapan 2021,” kata politisi dari fraksi partai amanat nasional (PAN) itu.

Menurut dia, seringnya mutasi dan kekosongan kepala dinas juga menjadi penyebab kinerja OPD Pemkab Bojonegoro tidak maksimal. Sehingga, semenjak 2019 atau dua tahun terakhir, silpa di Bojonegoro selalu mencapai Rp 2 triliun.

“Maka, tahun awal ini harus dilakukan eksekusi dengan cepat supaya tidak menumpuk di akhir tahun,” jelas Lasuri.

Sementara itu, Koordinator Forum Indonesia untuk Transfaransi Anggaran (Fitra) Jatim, Dakelan, mengatakan, tingginya silpa Bojonegoro menandakan banyaknya anggaran yang tidak terserap.

“Banyak faktor penyebab tingginya silpa, di antaranya keterlambatan transfer dari pemerintah pusat sehingga melampaui target daerah dan lambatnya kinerja OPD,” katanya.

Dia mengatakan, seharusnya pada semester awal penyerapan anggaran sudah mencapai 50 persen. Sehingga, tidak menimbulkan silpa yang tinggi.

Melihat hal itu, kinerja OPD juga harus dievaluasi DPRD Bojonegoro dalam mengatur anggaran daerah. Sebab, jika penyerapan rendah tentu sangat merugikan masyarakat karena pembangunan terhambat.

“Ya, seharusnya saat P-APBD, DPRD mengevaluasi masing-masing OPD dalam melakukan penyerapan dan itu momentum,” jelas Dakelan.

Dia menambahkan, harus ada mekanisme misalnya membuat sistem capaian informasi penyerapan setiap OPD. Juga memberikan reward saat penyerapan OPD maksimal.(jk)

Sumber: suarabanyuurip.com