APBD 2020 Tak Wajar, DPRD: Mohon KPK Turun ke Jember

512

Terbitnya opini tidak wajar dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Jember, Jawa Timur, Tahun Anggaran 2020, ditindaklanjuti DPRD setempat.

Pimpinan DPRD Jember secara simultan menyurati Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan BPK. Pimpinan meminta kepada BPK untuk melakukan audit investigasi. Hal sama pernah dilakukan DPRD Jember saat BPK tidak memberikan penilaian pada APBD 2019 atau disclaimer.

“Kalau dari sudut pandang kewenangan DPRD dalam fungsi pengawasan, Kami sudah mengupayakan prosedur yang sudah lebih dari cukup. Bahkan sejak tahun lalu, ketika Jember mendapatkan disclaimer dari BPK, kami sudah melayangkan beberapa laporan kepada aparat penegak hukum. Salah satunya kepada KPK,” kata Ketua DPRD Jember Itqon Syauqi, Senin (14/6/2021).

“Saat ini ketika Jember mendapatkan opini tidak wajar, DPRD juga sama. Oleh karena itu, ini bagian dari pengawasan kami untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan negara yang setiap rupiahnya harus dipertanggungjawabkan, maka kami mohon dengan hormat supaya KPK berkenan segera turun ke Jember,” kata Itqon.

“Banyak uang rakyat yang harus dipertanggungjawabkan dan sekali lagi sesuai kewenangan kami, tujuan kami semata-mata ada dua. Satu, memastikan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan negara. Kedua, tujuan kami agar ke depan opini BPK ke Jember bisa lebih baik. Tidak disclaimer dan tidak wajar. Jember juga ingin mendapat opini wajar tanpa pengecualian sebagaimana kabupaten-kabupaten tetangga,” kata Itqon.

APBD 2020 adalah APBD pada tahun terakhir pemerintahan Bupati Faida. Muhammad Iqbal, pengajar Universitas Jember dan mantan anggota tim konsultan humas Badan Pemeriksa Keuangan RI, mengatakan, opini tidak wajar ini fatal karena bersifat pervasif dan material.

“Pervasif berarti ada kesalahan yang bisa berdampak luas ke mana pun dan sangat mendalam. Material artinya banyak ditemukan penyajian laporan secara tidak wajar atau dalam bahasa auditing yaitu tidak sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan (SAP), tidak ada kecukupan pengungkapan, tidak patuh terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, dan sistem pengendalian internal yang tidak efektif,” katanya.

Lima catatan yang berpotensi pidana itu adalah, pertama, Rp 202,78 miliar belanja barang dan jasa yang laporannya disajikan lebih tinggi, sedangkan belanja pegawai disajikan lebih rendah. “LHP BPK menilai ini sebagai tidak wajar karena tidak sesuai dengan penjabaran APBD. Ini potensial terindikasi ada praktik manipulasi laporan keuangan,” kata Iqbal.

Kedua, ditemukan Rp 107,09 miliar laporan kas di bendahara pengeluaran per 31 Desember 2020 yang tidak sesuai dengan SAP dan sangat berpotensi tidak dapat dipertanggungjawabkan.

“Ketiga, ada Rp 66,59 miliar realisasi belanja tim manajemen Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Penyelenggaraan Pendidikan Gratis (PPG) tanpa rekapitulasi, sehingga tidak dapat diperoleh bukti pemeriksaan yang cukup dan tepat,” kata Iqbal.

Keempat, ada Rp 68,80 miliar realisasi pembayaran belanja pegawai yang tidak sesuai dengan SAP dan kesalahan penganggaran. Terakhir, ditemukan Rp 31,57 miliar utang jangka pendek lainnya yang tidak didukung dokumen sumber yang memadai. “Maka, kalau ditotal catatan nomor dua sampai lima saja, ada Rp 274,05 miliar yang berpotensi terindikasi pidana,” kata Iqbal. [wir/but]

Sumber: beritajatim.com