BPK Laporkan Enam Temuan Masalah

1064

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan enam temuan permasalahan dalam pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2015 yang menjadi pengecualian atas kewajaran LKPP.

Ketua BPK Harry Azhar Azis mengatakan, permasalahan tersebut merupakan gabungan ketidaksesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, kelemahan sistem pengendalian intern dan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.

Permasalahan tersebut adalah saat pemerintah pusat menyajikan investasi permanen Penyertaan Modal Negara (PMN) per 31 Desember 2015 sebesar Rp 1.800,93 triliun, yang di antaranya sebesar Rp 848,38 triliun merupakan PMN kepada PT PLN.

PLN mengubah kebijakan akuntansinya dari yang sebelumnya sejak 2012-2014 menerapkan ISAK 8 menjadi tidak lagi menerapkan sistem itu. Padahal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan PLN untuk menerapkannya sebagai standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan.

“Sebagai akibatnya, BPK tidak dapat menentukan apakah diperlukan penyesuaian terhadap angka yang ada,” katanya saat menyampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan atas LKPP Tahun 2015 kepada Presiden di Istana Negara Jakarta, kemarin.

Masalah kedua yang ditemukan BPK adalah pemerintah menetapkan harga jual eceran minyak solar bersubsidi lebih tinggi dari harga dasar termasuk pajak dikurangi subsidi tetap, sehingga membebani konsumen dan menambah keuntungan badan usaha melebihi dari yang seharusnya sebesar Rp3,19 triliun. Pemerintah belum menetapkan status dana tersebut.

Selanjutnya masalah terkait piutang bukan pajak sebesar Rp 1,82 triliun dari uang penganti perkara tindak pidana korupsi pada kejaksaan dan sebesar Rp 33,94 miliar. Berikutnya USD 206,87 juta dari iuran tetap, royalti dan penjualan hasil tambang (PHT) pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak didukung dokumen sumber yang memadai serta sebesar Rp 101,34 miliar tidak sesuai hasil konfirmasi kepada wajib bayar.

Masalah keempat, persediaan pada Kementerian Pertahanan sebesar Rp 2,49 triliun belum sepenuhnya didukung penatausahaan, pencatatan, konsolidasi dan rekonsiliasi barang milik negara yang memadai. Selain itu persediaan untuk diserahkan ke masyarakat pada Kementerian Pertanian sebesar Rp 2,33 triliun belum dapat dijelaskan status penyerahannya.

Harry menambahkan, BPK juga menemukan masalah terkait pencatatan dan penyajian catatan dan fisik saldo anggaran lebih yang tidak akurat sehingga kewajaran transaksi dan saldo terkait hal itu sebesar Rp 6,6 triliun tidak dapat diyakini.

Temuan yang keenam adalah koreksi-koreksi pemerintah yang mengurangi nilai ekuitas sebesar Rp 96,53 triliun dan transaksi antar entitas sebesar Rp 53,34 triliun tidak dapat dijelaskan dan tidak didukung dokumen sumber yang memadai.

“Terhadap keenam permasalahan tersebut, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah perbaikan agar ke depan permasalahan yang mempengaruhi kewajaran laporan keuangan menjadi semakin berkurang dan tidak menjadi temuan berulang-ulang,” tuturnya.

Pada kesempatan itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta semua kementerian/lembaga (K/L) untuk menjadikan laporan hasil pemeriksaan BPK atas LKPP tahun 2015 menjadi momentum untuk perbaikan dan pembenahan. Hasil pemeriksaan BPK menjadi pekerjaan rumah untuk meningkatkan akuntabilitas keuangan negara.

“Dan saya tegaskan jangan ada yang bermain-main dengan uang rakyat,” urainya.

Terkait dengan LKPP tahun 2015, BPK menyampaikan hasilnya bahwa 56 K/L memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Kemudian 26 K/L memperoleh opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dan yang terakhir ada empat K/L yang memperoleh opini Tidak Memberikan Pendapat atau TMP (disclaimer).

Menurut dia, tahun lalu yang disclaimer terdapat tujuh K/L yang mendapatkannya, tetapi sekarang empat. Pertama Kementerian Sosial, kedua Kementerian Pemuda dan Olahraga, ketiga TVRI, keempat Komnas HAM.

[Selengkapnya …]