Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya ketidakjelasan uang pengganti perkara korupsi senilai Rp 1,82 triliun di Kejaksaan Agung. Laporan mengenai dana tersebut tidak disertai dokumen sumber yang memadai.
Hal ini terungkap dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2015 yang dikeluarkan BPK. Disebutkan, piutang uang pengganti Kejaksaan pada 2015 naik menjadi Rp 15,7 triliun atau naik Rp 1,2 triliun dari piutang tahun 2014 senilai Rp 14,5 triliun. “Nilai Rp 15,7 triliun merupakan nilai piutang bukan pajak kejaksaan, termasuk uang pengganti. Dari jumlah tersebut, ada temuan BPK sebesar Rp 1,82 triliun yang tidak didukung dokumen sumber sehingga menjadi masalah,” kata Kepala Biro Humas BPK Yudi Ramdan, saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (4/8).
Yang dimaksud piutang bukan pajak adalah pemasukan negara yang berasal dari nonpajak, seperti uang pengganti perkara korupsi, perkara perdata dan tata usaha negara, denda tilang, serta penyewaan rumah dinas. Uang pengganti korupsi merupakan komponen terbesar dari piutang bukan pajak tersebut.
Menurut Yudi, ketidakjelasan sumber dokumen tersebut dapat disebabkan adanya mala-administrasi. Namun, tidak tertutup kemungkinan hal itu menjadi indikasi adanya penyimpangan.
Untuk itu, tambah Yudi, pihaknya menyerahkan kepada institusi bersangkutan untuk segera menyelesaikan masalah tersebut.
Mengenai temuan BPK tersebut, Direktur Eksekusi, Eksaminasi, dan Upaya Hukum pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Ahmad Djainuri mengatakan, ada perbedaan persepsi antara kejaksaan dan BPK yang memunculkan temuan tersebut.
“Ada beda pandangan. Banyak terpidana yang hukuman uang penggantinya diganti dengan kurungan. Buat kami, masalahnya sudah selesai. Buat BPK, uang pengganti yang tidak dibayarkan walau diganti kurungan tetap dihitung piutang. Begitu juga masalah administrasi atau dokumen yang dianggap tidak memadai. Kami sudah penuhi sesuai standar kami,” kata Djainuri.