BPK Temukan Mark-Up Cost Recovery Rp 3,9 Triliun

1100

Audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas besaran biaya penggantian (cost recovery) yang diklaim kepada negara pada tahun anggaran 2015 menyimpulkan, telah terjadi penggelembungan (mark up) klaim sebesar USD 290,34 juta atau setara Rp 3,9 triliun.

Audit tersebut merupakan bagian Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) BPK semester II/2015. Dalam publikasinya, BPK menyebut bahwa mark up klaim cost recovery tahunan tersebut melanjutkan tren lompatan mark up sejak tahun fiskal 2014. Sebelum periode tersebut, mark up klaim cost recovery berada di bawah Rp 1 triliun. Tetapi setelah itu, kosisten di atas Rp 3 triliun.

“Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, mark up klaim cost recovery pada tahun fiskal 2015 bersumber terutama dari invesment credit dan interest cost recovery yang tidak sesuai dengan persetujuan SKK Migas, serta biaya tunjangan ekspatriasi untuk tenaga kerja asing,” ungkap BPK dalam publikasinya, kemarin.

Selanjutnya BPK mengimbau agar temuan investigatif ini menjadi perhatian dan ditindaklanjuti oleh semua pihak, baik para pembuat kebijakan yang terkait di bidang energi, serta aparat penegak hukum.

Dihubungi terpisah, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Elan Biantoro mengatakan akan menindaklanjuti temuan BPK tersebut. SKK Migas akan berkoordinasi dengan BPK terkait KKKS mana saja yang dinilai menggelembungkan klaim cost recovery.

“Kami dan BPK selalu koordinasi. Setelah adanya temuan itu selanjutnya kami tindak lanjuti,” kata dia, kemarin.

Menurutnya, jika terjadi pengembalian berlebih terhadap biaya operasi migas oleh KKKS, maka hal itu harus dipertanggungjawabkan. SKK Migas akan memangkas kelebihan klaim cost recovery tersebut di tahun berikutnya.

“Jika memang hasil akhir audit menyebutkan ada kelebihan cost recovery akan dipertanggungjawabkan di tahun berikutnya dengan memangkas anggaran atas pengembalian biaya operasi migas,” jelasnya.

Dalam IHPS Semester II/2015 yang disampaikan kepada DPR kemarin, BPK melaporkan temuan sebanyak 2.537 masalah yang berdampak terhadap keuangan negara senilai Rp 9,87 triliun. “Dari angka tersebut, yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 710,91 miliar. Potensi kerugian negara senilai Rp 1,15 triliun dan kekurangan penerimaan negara senilai Rp 8 triliun,” kata Ketua BPK Harry Azhar Azis dalam Sidang Paripurna DPR di Jakarta, kemarin.

BPK memeriksa 704 objek pemeriksaan, terdiri atas 92 objek pada pemerintah pusat, 571 objek pemerintah daerah dan BUMD, dan 42 objek BUMN dan badan lainnya. Sementara, berdasarkan IHPS dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) semester II/2015, BPK mengungkapkan ada 6.548 temuan yang memuat 8.733 permasalahan.

“Temuan tersebut terdiri atas 6.558 masalah ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan senilai Rp 11,49 triliun dan 2.175 masalah kelemahan SPI (sistem pengendalian intern),” ujar Harry.

Berdasar pemeriksaan atas 35 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2015 tersebut, BPK pun memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap satu LKPD, opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) terhadap 17 LKPD, opini Tidak Wajar (TW) terhadap satu LKPD, dan Tidak Memberikan Pendapat (TMP) terhadap 16 LKPD.

[Selengkapnya …]