DPRD Kota Surabaya Pertanyakan Piutang Rp 776 Miliar

1028

Piutang pajak bumi dan bangunan (PBB) Pemkot Surabaya naik setiap tahun sejak 2014. Nilai kenaikannya berlipat ganda hingga mencapai Rp 776 miliar pada akhir 2018. Pansus yang sedang membahas revisi perda PBB mempertanyakan mengapa semakin banyak yang menunggak PBB.

“Dan sepertinya, tak ada tanda-tanda akan turun,” ujar anggota pansus PBB Rio Pattiselano. Rio menanyakan hal tersebut ke pemkot. Sebab, piutang sebesar itu setara dengan 70 persen pendapatan PBB per tahun yang mencapai Rp 1,2 triliun.

Politikus Gerindra itu menanyakan siapa yang menunggak PBB. Diperlukan pendataan kepada wajib pajak (WP) yang tak membayar tersebut. Jika WP tidak mampu membayar PBB, Rio mengharapkan pemkot memberikan kebijakan keringanan atau penggratisan. Jika penunggak adalah pengusaha besar, piutang itu seharusnya dikejar untuk meningkatkan pendapatan.

Rio menilai persoalan tersebut tidak terlepas dari tarif PBB yang mengacu pada Perda Nomor 10 Tahun 2010. Juga kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sejak 2011-2018. NJOP yang menjadi patokan utama penghitungan PBB dinaikkan setiap tahun. Baru pada 2019 pemkot tak menaikkannya lagi setelah banyak warga yang protes.

Saat ini pansus sedang membahas tarif PBB yang baru. Namun, pemkot menolak tarif usulan dewan. Sebab jika diterapkan, potensi pendapatan pemkot bisa hilang Rp 269 miliar. Jika menggunakan tarif usulan warga, potensi kehilangannya mencapai Rp 119 miliar.

Menurut Rio, potensi kehilangan pendapatan tersebut seharusnya tidak jadi masalah jika pemkot memaksimalkan penagihan piutang. Target pendapatan bakal tetap tercapai jika utang warga tertagih. Bahkan, bisa melebihi target. “Jadi, revisi tarif ini bisa lebih cepat. Tak perlu memikirkan pendapatan yang hilang,” kata politikus yang juga pendeta itu.

Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Pajak Daerah (BPKPD) Surabaya Yusron Sumartono menerangkan bahwa piutang tersebut disebabkan banyak hal. Salah satunya adalah warisan dari pemerintah pusat saat kewenangan PBB yang diberikan ke pemda. “Jadi catatan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) tiap tahun. Kami coba usulkan pencoretan, belum dikabulkan,” kata dia.

Pencoretan dilakukan karena banyak objek pajak yang tidak teridentifikasi. Namun, setiap tahun angkanya terus tertagih. Identifikasi sudah dilakukan. Ada objek pajak yang ketemu. Ada yang tidak diketahui.

Ada juga lahan kosong yang tidak dibayarkan pemiliknya. Biasanya, lahan tersebut milik pengembang. Pajak baru dibayarkan saat lahan tersebut sudah dikavling dan menghasilkan. “Selain rumah kosong, banyak fasum dan fasos yang menunggak,” kata dia.

[Selengkapnya …]