IHPS II 2016 – Rp 19,4 Triliun Tak Sesuai Ketentuan

924

Presiden Joko Widodo sudah sering mengingatkan kementerian dan lembaga untuk menggunakan anggaran dengan benar. Namun, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) masih menemukan dugaan penyelewengan penggunaan anggaran 2016 hingga Rp 19,4 triliun.

Hal itu terungkap dalam ikhtisar hasil pemeriksaan semester (IHPS) II-2016 yang disampaikan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Harry Azhar Azis kepada Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (17/4).

Dari pemeriksaan laporan keuangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, dan badan lainnya, BPK menemukan 5.810 temuan yang memuat 1.393 kelemahan sistem pengendalian internal. Ditemukan juga 6.201 persoalan ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan. Nilai anggaran yang digunakan tidak sesuai ketentuan perundang-undangan itu mencapai Rp 19,4 triliun.

Harry Azhar menambahkan, kerugian negara akibat penyelahgunaan anggaran diperkirakan Rp 33,52 triliun.

”Kerugian negara yang sudah dilaporkan ke Kepolisian Negara RI nilainya Rp 33,52 triliun dan 841,88 juta dollar AS. Proses selanjutnya kami serahkan kepada kepolisian,” kata Harry Azhar seusai bertemu Presiden.

BPK juga menyampaikan pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan sejak 2005 hingga 2016. Menurut Harry Azhar, selama 12 tahun BPK menyampaikan 437.343 rekomendasi hasil pemeriksaan dengan potensi kerugian negara Rp 241,71 triliun. Namun, hingga 2016, aset dan dana yang dikembalikan kepada negara baru Rp 70,19 triliun atau 29 persen dari total uang negara yang hilang karena diselewengkan.

BPK berharap pemerintah menindaklanjuti rekomendasi BPK agar kerugian negara tidak terus bertambah. Tindak lanjut rekomendasi juga penting untuk mengembalikan anggaran negara yang diselewengkan ke kas negara maupun kas daerah.

Seusai pertemuan, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menegaskan, Presiden akan segera menindaklanjuti temuan dan rekomendasi BPK. Apalagi, selama ini Presiden menginginkan kementerian dan lembaga menggunakan anggaran secara transparan dan bertanggung jawab.

”Presiden memerintahkan kepada menteri koordinator untuk menindaklanjuti,” ujarnya.

Laporan audit BPK juga menengarai penerimaan negara yang macet. Penerimaan negara yang tak dibayarkan perusahaan-perusahaan telekomunikasi ini mencapai Rp 1,85 triliun. Nilai itu berupa piutang macet biaya hak penggunaan frekuensi.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara membenarkan hal itu. ”Sebanyak 78 persen atau Rp 1,44 triliun berasal dari satu operator, sedangkan sisanya dari tujuh operator,” kata Rudiantara.

[Selengkapnya …]