Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kesulitan mengakses data perpajakan semester II 2014 akibat kurang tanggapnya Menteri Keuangan (Menkeu) merespons permintaan dokumen.
“Pemeriksaan pajak sektor migas terhambat dan tidak optimal karena dokumen yang tidak lengkap serta Menkeu tidak merespons permintaan data,” ujar Ketua BPK RI Harry Azhar Azis.
Dari uji terbatas terhadap rekapitulasi data yang ada, BPK menemukan potensi pajak bumi dan bangunan (PBB) migas terutang Rp 666,23 miliar karena 59 kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas tidak menyampaikan surat pemberitahuan objek PBB migas 2013 dan 2014.
Selain itu, karena Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak menetapkan PBB migas terhadap KKKS yang belum mendapat persetujuan terminasi wilayah kerja bisa menimbulkan kekurangan penerimaan Rp 454,38 miliar.
BPK pun tidak dapat menilai pengawasan, pemeriksaan, dan penagihan oleh DJP terhadap wajib pajak sektor migas. “Itu karena ada pembatasan pemeriksaan dari Pasal 34 UU 6/1983 dan UU 28/2007 yang melarang pemberian data perpajakan tanpa izin tertulis dari Menkeu,” jelasnya.
Masalah lainnya ialah penetapan target lifting migas di APBN/APBN-P yang tidak selaras dengan target yang disepakati dalam work program and budget antara KKKS dan SKK Migas.