Pemda Diminta Perbaiki Kualitas Belanja

1502

Pemerintah pusat meminta pemerintah daerah (Pemda) untuk memperbaiki kualitas belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kualitas APBD di berbagai daerah dinilai masih rendah karena sebagian besar uang APBD masih dialokasikan untuk belanja pegawai negeri.

Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan, sejak penerapan standar pelaporan keuangan berbasis akrual, penyerapan APBD membaik. Ini membuat banyak pemda diganjar opini dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

“Tapi, apa hasil dari WTP itu untuk masyarakat kalau mayoritas anggaran untuk pegawai?” kata Mardiasmo di Jakarta, kemarin.

Mardiasmo mengatakan, penyusunan laporan keuangan berbasis akrual sejak 2015 membuat perencanaan dan penyusunan anggaran lebih baik. Namun, dia berharap pemda ke depannya bisa lebih baik dalam memprioritaskan anggaran untuk kegiatan produktif sehingga menggerakkan perekonomian daerah. “Jadi, jangan hanya fokus mendapatakan opini WTP,” ujarnya.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, rata-rata porsi belanja pegawai dalam APBD 2015, baik provinsi maupun kabupaten/kota mencapai 40%. Porsi belanja pegawai di tingkat pemerintah kabupaten/kota tercatat rata-rata mencapai 46%.

Di tingkat kabupaten/kota, lima pemda tertinggi dalam hal belanja pegawai adalah Kabupaten Langkat (76,3%), Kota Pematang Siantar (71,2%), Kabupaten Tanah Karo (68,4%), dan Kota Kendari (68,3%). Sementara di tingkat provinsi, pemda yang memiliki alokasi belanja pegawai tertinggi adalah Bengkulu (28,3%), Sulawesi Tengah (25,6%) Sulawesi Tenggara (25,5%), Gorontalo (24,2%), dan DKI Jakarta (22,8%).

Kemenkeu memiliki kebijakan untuk mengurangi porsi belanja pegawai di daerah. Itu dilakukan dengan cara mengurangi porsi dana alokasi umum (DAU) dan memperbesar porsi dana alokasi khusus (DAK) yang bersifat infrastruktur.

Pengamat ekonomi Universitas Brawijaya Candra Fajar Ananda sebelumnya juga pernah menyebut komposisi APBD di berbagai daerah selama ini hanya mengandalkan DAU dari pemerintah pusat. Di Provinsi Jawa Timur, porsi pendapatan asli daerah (PAD) terhadap APBD rata-rata hanya 13,7%.

“Di Jawa Timur hanya beberapa daerah yang PAD-nya di atas 20%. Sementara DAU itu minimal 80% dipakai untuk gaji pegawai. Untuk belanja modal, tidak ada yang di atas 20%. Makanya, daerah ini berlomba-lomba menambah jumlah pegawai supaya DAU-nya naik,” kata dia.

Di bagian lain, Anggota II Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agus Joko Pramono mengatakan, pemanfaatan laporan keuangan pemerintah bagi pengambilan keputusan masih rendah. Di pemerintah daerah, tingkat kebermanfaatan laporan keuangannya bahkan lebih parah.

“Di pemerintah pusat, hanya di level tertentu yang memanfaatkannya,” kata Agus.

Berdasarkan survei BPK, pembuatan anggaran banyak yang tidak menggunakan laporan keuangan sebagai pedoman dasar agar kemudian dapat membantu dalam pengambilan yang lebih baik. Agus juga mengungkapkan metode pencatatan berbasis akrual lebih baik dibandingkan basis kas karena mampu memunculkan proyeksi jangka panjang.

Dia mengatakan, pemerintah perlu mengubah pola pikir untuk menerapkan pelaporan keuangan berbasis akrual karena basis tersebut hanya sebatas sistem akuntansi saja, tetapi proses memanfaatkan apa yang ada di lingkungan entitas. Akrual bukan hanya sekadar akuntansi, tapi juga pola pikir bagaimana memandang suatu sumber daya dan bagaimana perspektif yang akan diaplikasikan terhadap sumber daya tersebut.

[Selengkapnya …]