Capaian penerimaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) ternyata tidak semulus pajak bumi dan bangunan (PBB). Hingga akhir September lalu, capaian pendapatan PBB sudah menembus RP 1,118 triliun (106,11 persen), sedangkan BPHTB hanya Rp 768 miliar (65 persen).
Pendapatan pemkot dari pajak daerah memang didominasi dua pos pendapatan itu. Jika keduanya ditotal, jumlah pendapatan mencapai Rp 2,2 triliun. Nilainya mencapai dua pertiga total pendapatan pajak daerah sekitar Rp 3,5 triliun. Karena itu, capaian dua sumber pendapatan tersebut selalu menjadi catatan dewan.
Wakil Ketua DPRD Surabaya Aden Darmawan menerangkan, PBB dan BPHTB merupakan dua hal yang berbeda. PBB dibayarkan secara rutin oleh masyarakat, sedangkan mayoritas perolehan BPHTB berasal dari jual beli lahan atau bangunan. “Berarti daya beli masyarakat sedang turun,” katanya.
Sebelumnya, pemkot menyatakan bahwa perekonomian di Surabaya sempat menurun gara-gara teror bom. Namun, Aden tidak sepakat dengan pernyataan tersebut. Sebab, pendapatan pajak dari sektor lain tetap tinggi.
Pajak hotel mencapai Rp 188 miliar (83,5 persen). Pajak parkir, pajak restoran, dan pajak hiburan juga telah melampaui target 80 persen.
Aden menerangkan, pembelian properti memang lebih lesu karena dampak nilai tukar dolar. Hal tersebut memengaruhi harga bahan-bahan bangunan. “Aku beli besi bahan bangunan kemarin naiknya 20 persen,” ungkapnya.
Melihat kondisi tersebut, Aden meminta pemkot memaksimalkan pendapatan dari sektor lain. Dia menyinggung penerapan pajak online yang belum terlaksana hingga kini. Padahal, Perda Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pajak Online sudah bergulir lebih dari satu setengah tahun.