Pemprov Jatim segera akan meluncurkan program unggulan Tis-tas (Gratis berkualitas) untuk siswa jenjang SMA/SMK. Program ini harus dibarengi dengan pemahaman yang tepat agar gratis tetap menghasilkan pendidikan berkualitas. Bukan sebaliknya, membuat keuangan sekolah menjadi lesu sehingga tidak bersemangat untuk mengejar prestasi.
Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak mendiskusikan hal tersebut langsung dengan kepala sekolah di Jatim. Selama ini, banyak sekolah yang menarik biaya selain dari Surat Edaran (SE) yang ditetapkan Gubernur Jatim dalam bentuk sukarela. Namun, ketika spiritnya menjadi ’tis’ (gratis), tidak bisa hal itu digebyah-uyah (disamaratakan). “Kalau Tis-tas tidak semangat jadi Tis-tus,” canda Emil Dardak saat ditemui di Hotel Mojopahit Surabaya, Senin (22/4).
Emil menuturkan, biaya apapun yang ditarik sekolah setelah adanya program Tis-tas ini menjadi sangat beresiko. Tak terkecuali untuk kegiatan ekstrakurikuler yang menjadi salah satu andalan sekolah berburu prestasi. Karena itu, perlu ada mekanisme yang tepat untuk mendorong prestasi sekolah melalui ekstrakurikuler. Misalnya dengan biaya yang selama ini dikeluarkan sekolah untuk membayar GTT (Guru Tidak Tetap) dan Pegawai Tidak Tetap (PTT).
“Setelah adanya bantuan kesejahteraan dari provinsi, setidaknya dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) akan ada space lebih untuk kegiatan lainnya,” tutur Emil.
Perlu dibahas lebih lanjut, lanjut Emil, untuk mengelola ekspektasi sekolah dalam mewujudkan prestasi-prestasi siswa. Karena akan beresiko jika sudah digratiskan tetapi masih ada biaya yang harus ditanggung siswa.
“Selama ini boleh. Tetapi, karena dengan ’tis’ saja kita sudah menganggarkan hampir Rp 2 triliun agar SPP digratiskan. Maka harus dipikirkan bagaimana dengan ruang-ruang sukarela masyarakat apakah ditutup? Ini kan kita masyarakat gotong royong,” tutur Emil.
Karena itu, pihaknya sepakat untuk komunikasi dengan komite sekolah dan hasilnya akan di-sharing dengan Forpimda, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Tujuannya, agar ada ketenangan kepala sekolah jika ada mekanisme sumbangan sukarela diterapkan. Karena ada dana yang cukup lumayan untuk mengelola kegiatan siswa dan diminati masyarakat untuk meningkatkan prestasi siswa. “Kalau itu hilang bukan Tis-tas, jadi Tis-tus karena tidak semangat,” tandasnya.
Di sisi lain, dengan adanya program Tis-tas, Emil berharap keuangan sekolah akan lebih baik. Sebab, distribusi anggaran akan lebih pasti dan berbeda dengan pencairan BOS dari pusat. Sementara dengan SPP yang ditarik dari masyarakat, ada peluang masyarakat menunggak hingga berbulan-bulan.
Disinggung terkait evaluasi terhadap SE Gubernur tentang biaya SPP, Emil mengaku harus harus sangat hati-hati dalam mengambil kebijakan. Sebab, dalam SE tersebut juga mempertimbangkanan daya beli masyarakat sangat mendominasi.
Di sisi lain juga mempertimbangkan indeks kemahalan yang perlu dipertimbangkan terhadap biaya sekolah. “Ini harus sangat hati-hati mau coba. Iya, tapi tidak bisa cepat. Kita akan coba ini sebagai rencana jangka menengah,” pungkas Emil.
Dalam kesempatan itu, Kepala SMAN 1 Lamongan Kiswanto turut bersuara. Pihaknya mengaku sekolahnya berupaya mendorong prestasi siswa bahkan hingga ke tingkat internasional. Hal tersebut tentu membutuhkan biaya yang cukup. Dulu, sebelum ditetapkan SE Gubernur tentang besaran SPP, sekolah bisa menarik biaya sebesar Rp 200 ribu per bulan. Namun, dengan adanya SE tersebut, sekolah hanya bisa menarik Rp 70 ribu per bulan.