Menagih uang pengganti yang belum dilunasi koruptor tidak boleh dilepaskan dari kerja besar pemberantasan korupsi. Sayangnya, upaya penagihan uang pengganti -yang jumlahnya sama dengan nilai harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi itu- masih belum maksimal dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung). Akibatnya, berdasar audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), jumlah tunggakan tersebut sudah mencapai Rp 13,146 triliun.
Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menyatakan, belum dieksekusinya uang pengganti kasus korupsi itu merupakan persoalan serius. Pemberantasan korupsi, menurut dia, tidak akan membawa efek jera jika eksekusi uang pengganti tak kunjung dilakukan.
Dalam catatan ICW yang juga didasarkan atas audit BPK, uang pengganti tersebut berada di bidang pidana korupsi khusus Rp 3,5 triliun dan bidang perdata Rp 9,6 triliun. “Uang pengganti itu merupakan hasil korupsi, seharusnya dibayarkan ke negara. Kejagung tak bisa mengabaikan hal ini,” tuturnya. Menurut Emerson, percuma saja para pelaku korupsi dipidana, namun uangnya tak bisa dikembalikan kepada negara.
Sayangnya, ICW tidak bisa mendalami uang triliunan yang belum dieksekusi itu berasal dari kasus korupsi mana saja. Sebab, hasil audit BPK yang dikeluarkan pada 30 Mei tahun lalu tersebut tak memerinci kasus korupsinya. “Yang pasti, sejumlah perkaranya telah inkracht (berkekuatan hukum tetap, Red),” ujar Emerson.
Kini ICW hanya bisa terus mendorong Jaksa Agung M Prasetyo mengingatkan jajarannya untuk menindaklanjuti hasil audit BPK tersebut. Bisa saja tunggakan eksekusi uang pengganti itu memang pekerjaan rumah yang ditinggalkan jajaran petinggi kejaksaan sebelumnya.