Koordinasi Bermasalah – Hindari Ketidakpastian dan Ketidakpercayaan Investor

844

Dunia investasi sektor ketenagalistrikan di Indonesia bermasalah dalam koordinasi antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan. Jika masalah ini terus berlarut-larut, dikhawatirkan dapat berdampak buruk pada progam 35.000 megawatt.

Demikian dikatakan Anggota II Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),  Agus Joko Pramono, dalam seminar pembangunan ketenagalistrikan Indonesia “Masalah, Solusi, dan Implementasi dalam Progam 35.000 MW”, Selasa (31/5), di Jakarta. Selain unsur BPK, seminar juga dihadiri semua pemangku kepentingan di sektor ketenagalistrikan.

Menurut Agus, pemerintah harus berkaca pada pengalaman proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik (fast track progam/FTP) I sebesar 10.000 megawatt (MW). Jika tidak, progam 35.000 MW akan tersendat dan penuh masalah.

“Kami merekomendasikan agar ada batasan yang jelas antara pemerintah selaku pembuat regulasi dan pelaksana regulasi. Ketidakjelasan antara tugas dan wewenang kedua instansi tersebut menimbulkan masalah dalam kebijakan, koordinasi, dan implementasi di progam 35.000 MW,” tutur Agus.

Anggota IV BPK, Rizal Djalil, menambahkan, pihaknya sudah mengaudit pelaksanaan FTP I. Proyek ini menyisakan masalah, seperti 3.800 tapak menara dan sejumlah gardu induk yang lahannya belum dibebaskan. Masalah lain, 22 kontrak gardu induk tidak termanfaatkan lantaran belum tersambung pada jaringan transmisi.

“PLN tetap membayar (untuk proyek tersebut), tetapi listriknya tidak bisa dinikmati. Di sini ada potensi kerugian negara,” ujar Rizal.

Pengamat ketenagalistrikan Fabby Tumiwa mengatakan, agar progam 35.000 MW berjalan mulus, pelaksanaannya harus sesuai tugas, pokok, dan fungsi setiap institusi. Dalam hal ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selaku pembuat kebijakan dan pemimpin pengembangan ketenagalistrikan.

“Adapun PLN sebagai pelaksana kebijakan yang dibuat regulator. Ini praktik standar di banyak negara. Jika antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan tidak bisa berkoordinasi, harus ada solusi tingkat tinggi untuk menjembatani persoalan ini,” kata Fabby.

Ketakkompakan antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan dalam progam 35.000 MW, lanjut Fabby, akan menimbulkan ketidakpastian di kalangan investor. Dampak lebih jauh, muncul kekhawatiran mengenai kepercayaan investor untuk berinvestasi di Indonesia bisa merosot.

Dorong Realisasi

Secara terpisah, Ketua Umun Kamar Dagang dan Industri Indonesia Rosan Perkasa Roeslani, di Jakarta, menyatakan akan menyampaikan kajian ke pemerintah untuk mendorong realisasi paket kebijakan ekonomi. Kalangan dunia usaha menilai implementasi paket kebijakan akan meningkatkan kepercayaan investor dalam merealisasikan investasinya di Indonesia.

“Keinginan politik pemerintah sudah bagus, kebijakan ekonomi makin baik, tetapi implementasinya masih ketinggalan,” kata Rosan.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asoisasi Pengusaha Indonesia Sanny Iskandar menyatakan, selama ini cukup banyak calon investor yang datang dan menyatakan minat berinvestasi di Indonesia. Namun, mereka masih menunggu dalam mengambil keputusan untuk merealisasikan investasinya.

Menurut Sanny, investasi yang belum terealisasi bisa disebabkan faktor perlambatan ekonomi global. Selain itu, investor menunggu peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut paket kebijakan ekonomi agar dapat berjalan.

“Jadi, saya pikir, pemerintah juga jangan terlalu mudah mengumbar janji dalam bentuk paket kebijakan. Pemerintah harus betul-betul menyiapkan pelaksanaan setiap paket kebijakan,” ujar Sanny.

Apindo berharap pemerintah konsisten merealisasikan kebijakan yang sudah dikeluarkan. Hal ini untuk menghindarkan ketidakpercayaan investor.

Sanny mencontohkan, selama ini banyak industri yang memiliki persepsi, diskon tarif listrik akan diberikan untuk pemakaian pukul 23.00 hingga 08.00.

“Namun, ternyata disebutkan bahwa diskon itu hanya untuk tambahan daya dari yang sebelumnya. Dalam situasi lesu seperti ini, boro-boro mau menambah daya,” katanya.

[Selengkapnya …]