Pemerintah dan seluruh pihak harus terlibat mengembalikan muruah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjadi lembaga yang mandiri dan bebas dari berbagai kepentingan. Terungkapnya skandal suap yang melibatkan auditor BPK Rochmadi Saptogiri telah mencoreng citra lembaga tersebut.
Koordinator Riset Indonesia Corruption Watch (ICW), Firdaus Ilyas, menyatakan BPK saat ini dibayang-bayangi politik kepentingan. Penyebabnya, kata Firdaus, pimpinan BPK banyak berasal dari kader partai politik.
“BPK belum bisa mandiri. Tidak seperti dulu karena ada mantan politisi di sana. Padahal, seharusnya BPK mandiri,” kata Firdaus dalam diskusi di Sekretariat ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, kemarin.
Terkuaknya praktik suap pemberian opini laporan keuangan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, lanjut Firdaus, menjadikan hasil audit BPK tak lagi memiliki makna. Terlebih BPK tak pernah terbuka terhadap proses auditnya.
Ia menambahkan, jumlah wajar tanpa pengecualian (WTP) lembaga pemerintah dan pemerintah daerah meningkat cukup banyak dari 2015 yang hanya 64,1% menjadi 84,1% di 2016. Peningkatan tersebut menjadi patut dipertanyakan.
“Kita jadi bertanya-tanya apakah sebagian besar opini WTP itu benar karena pengelolaan keuangan yang sudah baik atau karena suap? Mungkin jual beli WTP yang baru terkuak ini hanya sebagian kecil dari yang pernah terjadi,” ungkapnya.
Peneliti dari Indonesia Budget Center, Roy Salam, pun mendesak agar kinerja BPK segera diperbaiki.
“BPK harus bisa menunjukkan dalam auditnya seberapa besar anggaran sudah dikelola sebesar-besarnya untuk masyarakat,” tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Leonardus Eko Nugroho yang pernah berprofesi sebagai auditor menyebut opini laporan keuangan dari BPK memang sangat penting bagi pemerintah baik pusat maupun daerah.
Bagi lembaga pemerintah pusat, opini bisa mendongkrak poin yang berujung pada kenaikan numerasi insentif pegawai. Bagi daerah, opini laporan keuangan bisa mendongkrak jumlah dana alokasi umum yang digulirkan Kementerian Keuangan setiap tahunnya.
“Tawar-menawar itu bisa langgeng jika ada keinginan dua belah pihak yang bertemu. Kalau hanya sebelah pihak yang berniat, suap tidak akan pernah terjadi,” ungkapnya.