Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mendapati sejumlah masalah dalam asuransi perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Hal ini ditemukan dalam audit penempatan dan perlindungan TKI. “Kami minta masalah asuransi TKI ini dievaluasi,” kata Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Internasional BPK, Raden Yudi Ramdan Budiman, di kantornya, Rabu (6/5).
Yudi menjelaskan setiap TKI baru yang akan berangkat ke luar negeri diwajibkan membayar polis sebesar Rp 400 ribu per tahun. Sementara itu, untuk TKI yang memperpanjang kontraknya di luar negeri, polis yang dikenakan Rp 170 ribu per tahun.
Setidaknya ada tiga perusahaan asuransi yang ditunjuk pemerintah untuk melindungi para TKI, yakni Jasindo, Askrindo, dan Mitra TKI. Namun tak ada satu pun dari perusahaan itu yang memiliki perwakilan di luar negeri. Alhasil, setiap ingin mengajukan klaim, para TKI harus pulang kampung dulu. “Ini kan sangat merepotkan,” kata Yudi.
Akibat tak tersedianya perwakilan di luar negeri dan rumitnya prosedur pengurusan itu, menurut Yudi, banyak klaim asuransi TKI bermasalah. “Tahun lalu saja ada Rp 6,83 miliar klaim asuransi TKI yang bermasalah.”
Selain soal asuransi, BPK menemukan penetapan struktur biaya penempatan TKI belum sepenuhnya transparan, rinci, dan valid sesuai dengan kondisi riil di lapangan. Yudi mencontohkan, banyak kasus TKI yang akan memperpanjang kontrak di luar negeri masih harus mengikuti pelatihan 400 jam yang sama dengan TKI baru. “Ini berpengaruh ke struktur biaya. TKI yang sudah pernah ke luar harusnya bisa membayar lebih murah,” tutur dia.
Karena itu, BPK menilai diperlukan adanya pembenahan infrastruktur peraturan dan perbaikan dokumen perjanjian TKI. Sejumlah instansi terkait seperti Kementerian Ketenagakerjaan serta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) juga terlihat masih tumpang-tindih dalam menjalankan fungsinya.