Efek Transisi Birokrasi, Utang Wastafel Rp 107 miliar Tertunggak

803

Utang proyek pengadaan wastafel hingga menjadi temuan BPK RI senilai Rp 107 miliar tanpa surat pertanggungjawaban bermula pada medio Agustus 2020 lalu. Penelusuran Jawa Pos Radar Jember menemukan rekanan yang kecipratan proyek ini mulai melakukan pekerjaan di bulan-bulan itu, dan mereka dituntut rampung sebelum tutup tahun atau sebelum Desember 2020 habis.

Iswahyudi, rekanan wastafel asal Desa Dukuhmencek, Kecamatan Sukorambi, menyebut, awal Desember 2020, para rekanan menyelesaikan pekerjaan dan mulai mengusulkan pemeriksaan atau peninjauan agar pembayaran bisa dilakukan pada pertengahan Desember 2020.

Namun, alih-alih menantikan pencairan, justru saat itu menjadi awal keruwetan yang didapati rekanan hingga berbuntut pada tertunggaknya pembayaran. “Kami mulai mengajukan surat permohonan pemeriksaan, berita acara, hingga serah terima juga sudah semua. Nah, mulai ribetnya dari situ,” jelas Iswahyudi.

Bahkan, dirinya mengaku, ketika mengikuti pemeriksaan untuk kali kedua, harus dicecar sejumlah pertanyaan mengenai asal muasal para rekanan mendapatkan proyek tersebut. “Sampai tanggal 21 Desember 2020, punya saya justru tidak masuk pemeriksaan lagi. Ternyata saya masuk tahap dua yang Rp 54 miliar. Dari situ kami seperti dipingpong lagi,” sesal pria yang juga Sekretaris Forum Komunikasi Korban Wastafel Covid-19 Jember ini.

Buntut keruwetan itu juga tidak lepas dari adanya rotasi sejumlah pejabat di tubuh pemkab. Sejumlah pejabat yang semestinya memiliki kewenangan terhadap pelunasan proyek pindah. Lantaran persoalan belum memiliki SK baru, maka pemerintah sejak saat itu mengabaikan dan orang yang bertanggung jawab melakukan pelunasan juga tidak ketemu.

Para rekanan sejak saat itu menyayangkan ketidakjelasan peran pejabat yang bertindak selaku kuasa pengguna anggaran (KPA) maupun pejabat pembuat komitmen (PPK) yang disebut-sebut dalang di balik keruwetan tunggakan utang wastafel tersebut. Bahkan opini yang beredar, KPA dan PPK diduga ada yang menyalahi prosedur pencairan anggaran belanja tidak terduga (BTT) Covid-19. Bahkan, pemesanan proyek wastafel tahap kedua tanpa memegang anggaran yang seharusnya tersedia terlebih dulu di Bendahara BPBD Jember selaku OPD pelaksana.

Masa transisi birokrasi itu rupanya melebar hingga pada soal kewenangan pejabat di lingkungan BPBD Jember yang semestinya memiliki kewenangan mengeksekusi pelunasan pembayaran proyek wastafel. Sekretaris Satgas Covid-19 Pemkab Jember, yang saat itu dijabat Mat Satuki, mengaku tidak memahami persis mengapa bisa sampai tertunggak. “Kalau pekerjaan rekanan selesai, terdata, langsung terbayar. Terus ada yang telat belum sampai terbayar, mungkin rekanan ada teledor atau gimana saya kurang paham alasannya,” kata Satuki, yang berperan selaku KPA saat itu. Sementara, PPK proyek tersebut adalah Harifin.

Satuki mengungkap, keruwetan proyek wastafel bermula sejak adanya tahapan pemilihan kepala daerah (pilkada) di Jember. Di mana ada transisi jabatan dari Bupati Jember Faida kepada Pj Bupati yang saat itu dijabat Wabup KH Muqit Arief.

“Saat itu kan kembali ke KSOTK lama, banyak pejabat geser dan pindah. Karena tidak ada SK, banyak pejabat takut bertindak dan berlangsung selama sekitar 35 hari,” kata Satuki, yang juga terdepak posisinya sebagai Kepala BPBD Jember saat itu.

Lebih jauh Satuki mengatakan, prosedur pencairan anggaran belanja tidak terduga (BTT) Covid-19 awal kali dianggarkan dalam rencana kegiatan belanja atau RKB. Kemudian, diajukan pembayaran hingga terakhir dibayarkan. Satuki juga menyebut saat itu sudah tersedia anggaran di BPBD Jember, namun dia tidak menyebut berapa total keseluruhannya.

Tetapi, saat itu tidak dicairkan dengan RKB baru pada masa kepemimpinan Pj Bupati Kiai Muqit Arief. Satuki mengaku tidak tahu apa alasannya. “Alasan di rekanan, saya belum tahu. Mereka tidak mengajukan pembayaran atau seperti apa, juga kurang tahu. Prinsipnya kalau diajukan, kami bayarkan,” kata pria yang saat ini menjadi Sekretaris Pol PP Jember.

Satuki menambahkan, ada sisa sekitar Rp 31 miliar sekian yang belum terbayarkan. Karena tidak terserap, dana tersebut akhirnya kembali ke kas daerah. “Yang belum sekitar Rp 31 miliar sekian, yang sudah terbayar saya lupa. Bendahara yang paham,” akunya.

Sumber: Radar Jember