Banyak faktor yang memengaruhi polemik pembagian hasil Terminal Purabaya yang tak kunjung tuntas. Salah satunya adalah perbedaan pendapat antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jatim.
BPK menemukan piutang yang belum terbayar di anggaran Pemkab Sidoarjo. Pemkot Surabaya sebagai pemilik dan pengelola terminal harus melunasi utang atas temuan BPK itu.
Di sisi lain, pemkot telah berkonsultasi ke BPKP Jatim. Mereka menyarankan uang bagi hasil dihitung secara neto. Alias sudah dikurangi beban operasional dan pemeliharaan terminal. Sementara itu, pembagian hasil ke Sidoarjo selama ini dihitung secara bruto. Alias pendapatan kotor. “Nah, ini kami nurut yang mana? BPK atau BPKP?” ujar Wakil Ketua Komisi B DPRD Surabaya Anugrah Ariyadi.
Menurut dia, pembagian hasil memang seharusnya dihitung secara neto. Dengan begitu, laba dibagikan secara fair. Namun, dia tak ingin BPK terus mencatatkan utang tersebut sebagai temuan setiap tahun.
Pemkot berutang sejak 2008. Utang itu sudah dibayarkan 2012 lalu. Setelah membayar, pemkot menawarkan perubahan persentase bagi hasil. Pada 2013-2018, pemkot kembali berutang. Namun, utang tersebut sudah dibayar tahun lalu untuk periode hingga 2017. “Sedangkan 2018, masih menunggu audit BPK. Kalau audit sudah keluar, pemkot langsung bayar,” kata dia.