Sejumlah fraksi di DPRD Kabupaten Jember, Jawa Timur, mendesak agar Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP BPK) terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2020 diteruskan ke aparat penegak hukum.
Mufid, juru bicara Fraksi Kebangkitan Bangsa mengatakan, BPK meninggalkan tujuh catatan bersifat material yang menyebabkan LKPD Kabupaten Jember tidak disajikan secara wajar. Salah satunya adalah dari jumlah Rp 126,08 miliar yang disajikan sebagai kas di bendahara pengeluaran per 31 Desember 2020, di antaranya terdapat sebesar Rp 107,09 miliar yang tidak berbentuk uang tunai dan/atau saldo simpanan di bank, sesuai ketentuan di dalam Standar Akuntansi Pemerintahan dan berpotensi tidak dapat dipertanggungjawabkan.
“Adanya temuan Rp 107,09 miliar ini menyebabkan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) Tahun 2020 membengkak menjadi sebesar Rp 842,99 dari SILPA murni sebesar Rp 735,89 miliar,” kata Mufid, dalam sidang paripurna pembahasan Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2020, di gedung DPRD Jember, Kamis (1/7/2021).
Fraksi Kebangkitan Bangsa meminta agar temuan Rp 107,09 miliar disikapi dengan cermat, tegas, dan terukur agar tidak menjadi beban dalam pemeriksaan BPK pada tahun-tahun selanjutnya. “Opsi membawa persoalan ini ke jalur hukum adalah opsi logis jika pihak-pihak terkait tidak bisa mempertanggungjawabkannya, karena sejatinya di sini ada uang rakyat yang harus diselamatkan,” kata Mufid.
Holil Asyari, juru bicara Fraksi Pandekar, menyatakan sikap yang sama. “Pengguna Anggaran Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat Pengelola Teknis Kegiatan, dan Bendahara Pengeluaran harus mempertanggungjawabkan dana sebesar Rp 107,097 miliar sesuai ketentuan perundang undangan,” katanya.
“Manakala diketemukan ada unsur penyimpangan yang berpotensi melawan hukum maka kami meminta kepada Bupati Jember dan DPRD Jember melalui Pansus Covid 19 agar melaporkan kepada aparat penegak hukum untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan yang berlaku,” kata Holil.
Dewi Asmawati, juru bicara Fraksi Gerakan Indonesia Berkarya, menilai, buruknya pengelolaan keuangan daerah pada masa itu dipicu oleh buruknya komunikasi eksekutif dengan legislatif dan tidak adanya peraturan daerah tentang APBD Jember.
“Semua apa kata bupati kala itu. Akibatnya, pemerintahan berjalan di tempat dan program kesejahteraan masyarakat terabaikan. Bahkan lebih dari itu, DPRD Jember tidak bisa melakukan fungsi pengawasan sebagaimana mestinya,” kata Dewi.
“Oleh karena itu, khusus soal dana Covid-19 yang pengawasannya sedang ditangani Panitia Khusus DPRD Jember, sudah cukup jelas unsur penyimpangannya, dan kami berharap segera dilimpahkan penanganannya melalui aparat penegak hukum saja,” kata Dewi. [wir/but]
Sumber: beritajatim.com