Kardus-kardus itu ditata di depan pintu masuk Gedung Pringgodani, kompleks Taman Hiburan Rakyat (THR), kemarin sore (13/6). Sugeng Rogo memeriksa kardus yang telah ditandai dengan tulisan. Ada kardus bertulisan kostum remo, baju pentas, hingga aksesori pelengkap lainnya. “Nggak ngerti ape digowo nang endi. Bingung aku,” ujar Rogo yang juga penggiat sanggar Putra Taman Hira itu.
Rogo mengaku pusing. Raut wajahnya memperlihatkan kekusutan. “Nggak pusing sirah, tapi pusing ngerasakno nasib,” ucap pria yang belum tahu hendak pindah ke mana tersebut.
Di tengah desakan untuk segera meninggalkan THR, para seniman masih berupaya bertahan. Mereka sudah menerima somasi yang menegaskan bahwa batas terakhir orang-orang yang bertempat tinggal di THR untuk angkat kaki adalah Senin (10/6). Surat teguran diberikan oleh jaksa pengacara negara yang mendapatkan kuasa dari Pemkot Surabaya.
“Kalau diajak membahas lakon wayang atau ketoprak, tak layani. Kalau hukum, ya kami ini bingung,” jelas Rogo.
Meski begitu, ada pula upaya yang sedang disiapkan para seniman untuk meladeni pemkot. Bukan tidak mungkin para seniman itu menempuh langkah hukum. “Teman-teman sedang membahas hal tersebut,” tuturnya.
Dari 108 kepala keluarga di THR, memang tidak semua merupakan keluarga seniman. Ada pula yang membuka usaha di tempat tersebut. Menurut Rogo, dari pendataan, ada 20 keluarga seniman yang tinggal di Gedung Pringgodani. Di gedung ludruk terdapat lima keluarga. Di gedung srimulat ada tiga keluarga. Sore itu terlihat ada truk yang membawa barang-barang milik warga di THR tersebut. Truk itu keluar dengan membawa barang-barang yang telah dimasukkan ke kardus.
Sebelumnya, Pemkot Surabaya mengungkapkan akan menyelamatkan aset. Salah satunya, kompleks THR yang dianggap dikuasai tanpa hubungan hukum yang jelas dengan pemkot. Berdasar informasi dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Surabaya, sejak 2009 sudah tidak ada sewa-menyewa antara pemkot dan para penghuni tersebut.
Selain seniman, ada pekerja swasta yang tinggal di sana. Sebagian juga menggunakannya sebagai tempat usaha sekaligus rumah tinggal. Bahkan, ada tempat produksi perkakas dan bengkel. Kepala Disbudparta Surabaya Antiek Sugiharti menuturkan, jika pemkot membiarkan warga tinggal di THR, itu kurang tepat. Hal tersebut menjadi catatan dari Badan Pemeriksa Keuangan lantaran tidak ada hubungan hukum.