Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jum’at (25/5) kemarin menyerahkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) atas laporan keuangan APBD 2017 milik pemprov dan 20 kabupaten/kota. Hasilnya, seluruh laporan tersebut mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP).
Meski demikian, BPK masih menemukan sejumlah persoalan di balik laporan tersebut. Selain itu, masih ditemukan daerah yang terlambat menyetorkan laporan keuangan.
Kemarin penyerahan LHP dilakukan dalam dua tahap. Sesi pertama, BPK menyerahkan hasil audit atas laporan keuangan APBD 2017 Pemprov Jatim dalam rapat paripurna di gedung DPRD Jatim. LHP tersebut diserahkan Anggota V BPK Isma Yatun kepada Gubernur Soekarwo dan pimpinan dewan.
Sesi kedua, BPK menyerahkan LHP kepada 20 kepala daerah (bupati/wali kota) se-Jatim di kantor BPK di Jalan Raya Juanda. ”Untuk LHP dari kabupaten/ kota, ini masih tahap pertama. Untuk daerah lain, diserahkan di tahap kedua akhir Mei nanti,” kata Isma kemarin.
Dia menjelaskan, dari LHP yang diserahkan kemarin, seluruh pemerintah daerah penerima, baik pemprov maupun 20 pemkab/pemkot, sama-sama meraih opini WTP. Dari jumlah itu, ada satu kabupaten yang naik status. Yakni, Jember. Tahun sebelumnya, Jember meraih opini wajar dengan pengecualian (WDP).
Opini itu, menurut Isma, didasarkan pada penyajian laporan keuangan pemerintah daerah masing-masing. ”Laporan yang disampaikan memenuhi kriteria. Mulai patuh terhadap aturan, sistem pengendalian internal, hingga standar akuntansi pemerintahan,” katanya.
Meski 21 pemerintah daerah itu telah mendapat opini WTP, tidak berarti tak ada masalah yang muncul di balik laporan keuangan tersebut. Problem terbanyak yang ditemukan BPK terkait dengan pengelolaan aset-aset milik daerah.
Di lingkungan Pemprov Jatim, misalnya, BPK menemukan sejumlah persoalan seputar aset. Di antaranya, permasalahan penataan aset hasil serah terima dari pemkab/pemkot pasca pengalihan wewenang. Seperti diketahui, tahun lalu sejumlah kewenangan kabupaten/kota ditarik pemprov. Misalnya di sektor pendidikan menengah dan transportasi.
Demikian juga di lingkungan pemkab/pemkot. BPK menemukan bahwa pengelolaan aset-aset di 20 kabupaten/kota tersebut belum tertib. Selain itu, ada temuan yang terkait dengan pengelolaan pajak bumi dan bangunan (PBB). Di luar itu, ada juga temuan lain. Mulai persoalan kelebihan pembayaran sejumlah program belanja daerah hingga persoalan penggunaan dana hibah.
Sejumlah kepala daerah membenarkan hal tersebut. Misalnya yang diungkapkan Gubernur Soekarwo. Dia menyebut problem aset sebagai salah satu PR terbesar. ”Sebab, proses serah terimanya belum tuntas,” papar dia.
Hal senada diungkapkan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Dia mengatakan, masih banyak aset daerah di wilayahnya yang perlu mendapat atensi.
Di sisi lain, status WTP juga tak menjadi jaminan bahwa laporan keuangan di 21 pemerintah daerah tersebut bersih. Sebab, proses audit BPK tidak menyeluruh.
Plt Kepala BPK Perwakilan Jatim Ayub Amali tidak menampik hal itu. Dia menyebut proses audit yang dilakukan BPK terhadap laporan keuangan tiap-tiap daerah tak bisa menjangkau keseluruhan. ”Jadi, proses yang kami lakukan menggunakan uji sampling. Namun, dari proses itu, setidaknya sudah bisa digambarkan tingkat kepatuhan,” katanya.
Sementara itu, di antara 38 kabupaten/kota di Jatim, ternyata ada 4 daerah yang telat menyerahkan laporan setelah 31 Maret lalu. Yakni, Lumajang, Bangkalan, Trenggalek, dan Kota Probolinggo. ”Empat daerah itu baru akan menerima LHP Juni nanti,” terang dia.