Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan kerugian negara hingga Rp 8,5 triliun dalam sejumlah kasus yang melibatkan PT Trans-Pasific Petrochemical Indotama (TPPI). Potensi kerugian itu tersebar di tiga lembaga, yakni Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), serta PT Pertamina.
“Ini audit investigasi, rekomendasinya akan agak keras,” kata Anggota BPK, Achsanul Qosasi, Senin (11/5).
Achsanul mengatakan BPK mengaudit kasus itu sejak enam bulan lalu. Saat ini, yang sudah rampung adalah audit terhadap PLN yang ditaksir menimbulkan kerugian negara Rp 68 miliar. Adapun audit terhadap dua lembaga lain diperkirakan akan rampung dalam satu bulan mendatang. BPK memprediksi kerugian negara di Pertamina mencapai Rp 6 triliun dan di SKK Migas sebesar Rp 2,4 triliun.
Dihubungi lagi Selasa (12/5), Achsanul menjelaskan potensi kerugian negara di PLN disebabkan kegagalan TPPI memenuhi pasokan bahan bakar minyak sebesar 300 ribu kiloliter high speed diesel (HSD). Sedangkan di Pertamina, karena TPPI tak bisa membayar pendanaan pembangunan kilang. “Ini khan perusahaan milik negara. Jadi kalau tidak dibayar ada kerugian,” ucap Achsanul.
Di SKK Migas, Achsanul melanjutkan, uang negara bisa amblas karena TPPI tak mengembalikan uang yang semestinya masuk kas negara. Pada 2009, kata Achsanul, pemerintah ingin menghidupkan kembali TPPI yang sedang sekarat dengan mengucurkan talangan dan hak penjualan langsung kondensat. Namun TPPI tak menyetorkan hasil penjualannya kepada negara.
Dalam kasus terakhir inilah Badan Reserse Kriminal Polri telah menjerat tiga orang sebagai tersangka. Mereka adalah Raden Prijono, yang dulu menjabat Kepala Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas); Djoko Harsono, bekas Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas; dan Honggo Wendratno, salah seorang pendiri TPPI. Ketiganya dituduh melakukan korupsi dan pencucian uang.