Penyidik Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri sudah mendapatkan alat bukti atas kerugian negara sebesar US$ 149 juta atau sekitar Rp 2 triliun dalam penjualan kondensat (minyak mentah) selama 2009-2013.
Berdasarkan alat bukti tersebut, Bareskrim Polri telah menetapkan tiga tersangka. Mereka ialah mantan Direktur Utama PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) Honggo Wendratmo, mantan Kepala BP Migas Raden Priyono, serta mantan Deputi Finansial Ekonomi & Pemasaran BP Migas Djoko Harsono.
Ketiganya dituduh melanggar keputusan Kepala SKK Migas Nomor KPTS-20/BP0000/2003-SO tentang Pedoman Tata Kerja Penunjukan Penjual Minyak Mentah atau Kondensat Bagian Negara dan Keputusan Kepala BP Migas Nomor KPTS-24/BP00000/2003-SO tentang Pembentukan Tim Penunjukan Penjual Minyak Mentah atau Kondensat Bagian Negara. Meski kerugian negara sangat besar dan bukti sudah cukup, Bareskrim Polri tidak menahan ketiga tersangka.
“TPPI mengambil hak negara dan dijual. Mereka beralasan kontrak berlaku surut. Padahal tidak ada kontrak berlaku surut,” kata Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Kombes Agung Setya.
Selain ketiga tersangka, polisi sedang menyasar sejumlah pejabat aktif. Salah satunya, Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Hadiyanto. Hadiyanto yang menjabat Dirjen Kekayaan Negara selama 10 tahun diduga mengetahui adanya penyimpangan bahkan berperan penting dalam memuluskan penjualan kondensat.
“Posisinya (Hadiyanto) sangat strategis dan kami sudah memeriksa 65 saksi. Dia (Hardiyanto) sudah diperiksa tiga kali. Kami sedang mencari bukti mengapa Hadiyanto membiarkan kerugian negara yang demikian besar. Kami masih menunggu rinciannya dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),” urainya.
Anggota VII BPK Achsanul Qosasi sependapat bahwa kecil kemungkinan Hadiyanto selaku Dirjen Kekayaan Negara tidak mengetahui larinya uang senilai Rp 2 triliun tersebut. “Namun, itu ranah kepolisian yang harus membuktikan,” imbuhnya.
Peran Hadiyanto akan terlihat bila BPK sudah menuntaskan audit investigasi Laporan Kerugian Negara (LKN). Pada Agustus 2015, BPK mengungkapkan audit investigasi LKN kondensat sudah rampung 70%. LKN diperhitungkan tuntas tiga bulan kemudian. Ternyata hingga minggu kedua Januari 2016, laporan tak kunjung selesai.
Pengamat masalah energi dan perminyakan Marwan Batubara meyakini ada orang besar yang melindungi Hadiyanto sehingga statusnya tetap saksi. Orang besar itu juga yang diduga memengaruhi penyidik maupun BPK agar melambat.
Direktur Utama Indonesia Resources Studies itu juga mengungkapkan bahwa para tersangka sudah berkali-kali menyebut nama Hadiyanto sebagai pihak yang paling bertanggung jawab.
“Peran Hadiyanto sangat vital. Selain sebagai pengawas anggaran keuangan pada perusahaan negara, saat itu dia juga menjabat Komisaris PT Tuban Petrochemical Indonesia (TPI) yang merupakan induk perusahaan PT TPPI,” cetusnya.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan juga mencurigai ada orang besar maupun pemain besar di balik skandal tersebut yang berusaha melindungi Hadiyanto. “Sebagai Dirjen Kekayaan Negara waktu itu, perannya sangat penting dalam memutuskan izin pengelolaan kondensat kepada PT TPPI,” terangnya.
Pada era BP Migas, lanjut Mamit, pengelolaan keuangan dipegang Kemenkeu. “Berdasarkan pengakuan teman-teman di eks BP Migas, Hadiyanto tak segan-segan mengancam berupa menghambat pencairan anggaran bila kemauannya tidak dituruti. BP Migas mengetahui PT TPPI tidak sehat, tapi tidak bisa menolak,” tandasnya.
Hadiyanto menduduki posisi Dirjen Kekayaan Negara selama 10 tahun, sejak 1 Juli 2005 dan mendapat promosi menjadi Sekretaris Jenderal Kemenkeu pada 1 Juli 2015 dan dikenal sebagai orang SBY.