Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan kerugian negara dalam kasus quay container crane (QCC) yang disangkakan kepada Dirut Pelindo II Richard Joost (RJ) Lino baru berupa potensi. Perhitungan kerugian negara itu tengah dihitung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Menurut rencana, pembukaan mengenai hasil kerugian negara itu akan dibuktikan dalam persidangan perkara pokok di pengadilan tipikor.
Kepala Biro Hukum KPK Setiadi mengemukakan hal itu dalam sidang lanjutan praperadilan yang dipimpin hakim tunggal Udjianti di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (19/1).
“Proses audit masih berjalan dan akan dibuktikan dalam sidang perkara pokok, bukan pada persidangan praperadilan,” ungkap Setiadi.
Potensi kerugian negara yang dijadikan dasar menetapkan tersangka kepada RJ Lino itu didapatkan dari hasil investigasi fisik ahli Institut Teknologi Bandung dan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada Maret 2015. Nilainya mencapai US$ 3,6 juta.
Setiadi menjelaskan potensi kerugian tersebut timbul akibat penyediaan QCC yang tidak sesuai dengan kebutuhan awal yang hanya membutuhkan single lift. RJ Lino mengubahnya menjadi twin lift yang bernilai lebih mahal.
KPK juga menyebutkan dalam pengadaan QCC tersebut RJ Lino melakukan perbuatan melawan hukum dengan mengintervensi panitia pengadaan QCC untuk menunjuk PT HDHM sebagai pemenang tender. Padahal, menurut keterangan saksi yang telah diperiksa dalam penyelidikan dalam kurun waktu 2014-2015, PT HDHM tidak memiliki kualifikasi.
KPK mengaku telah memiliki dua alat bukti yang cukup dalam menetapkan RJ Lino sebagai tersangka. “Setelah ada dua alat bukti, (penyelidikan) ditingkatkan ke penyidikan. Kalau seperti (sekarang ini) ada dari pemohon (RJ Lino) menyatakan itu tidak cukup bukti, harusnya di persidangan berikut, bukan di praperadilan,” kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan saat memantau jalannya sidang.
Di lain pihak, pengacara RJ Lino, Maqdir Ismail, menegaskan perhitungan kerugian negara bukan kewenangan KPK, melainkan kewenangan BPK. Dengan demikian, penetapan RJ Lino sebagai tersangka tidak sesuai dengan prosedur karena belum pernah dihitung.
“Tadi kita semua mendengar KPK telah mengarakan kerugian sedang dilakukan dan akan dibutikan pada perkara pokok. Artinya perhitungan kerugian ini belum pernah dihitung. Bagaimana bisa seseorang ditetapkan tersangka bila kerugian negaranya belum jelas?” Maqdir menegaskan.
Terkait dengan intervensi RJ Lino dalam menetapkan PT HDHM sebagai pemenang tender, menurut Maqdir, hal itu disebabkan PT HDHM menawarkan harga lebih murah ketimbang PT Barata yang sebelumnya ikut dalam tender. Saat itu RJ Lino membuat penilaian bisnis.
“Dalam dunia bisnis, direksi ini diberikan kewenangan untuk mengubah peraturan. Kalau direksi tidak diperbolehkan mengubah peraturan, tidak perlu ada direksi,” tandasnya.