Kasus dugaan korupsi dan pencucian uang penjualan kondensat oleh PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (PT TPPI) mengungkap fakta baru. Penunjukan PT TPPI sebagai rekanan Pertamina dalam penjualan kondensat diputuskan dalam rapat yang dipimpin Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Wakil Presiden pada 2008, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun, menurut Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti, walau Kalla memimpin rapat, arahannya tak melanggar hukum. “Tentu dia memimpin rapat, tapi perintahnya laksanakan sesuai dengan undang-undang,” kata Badrodin.
Peran Jusuf Kalla pertama kali diceritakan oleh bekas Menteri Keuangan Sri Mulyani. Setelah diperiksa polisi pada Senin (8/6) lalu, Sri mengatakan Kalla ikut membahas penyelamatan PT TPPI.
Pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy mengungkap lebih jauh peran Kalla. Ichsan mengatakan, Kalla mengundang sejumlah pejabat negara untuk meriung di Istana Wakil Presiden pada 15 Mei 2008. Dalam risalah pertemuan yang belakangan bocor, Kalla disebut menyetujui penyelamatan TPPI yang tengah merugi. Saat itu, TPPI telah menerima pra-pembayaran untuk pembelian kondensat dari Pertamina sejak 2006. Sehingga, utang perusahaan kepada Pertamina pada saat itu mencapai US$ 190 juta. Pertamina juga memberikan jaminan kredit pihak ketiga kepada TPPI senilai US$ 85 juta.
Cara penyelamatannya, TPPI diberi jatah kondensat dengan harga yang menguntungkan Pertamina maupun TPPI. Pertamina lalu membeli minyak olahan TPPI, tapi harga beli Pertamina tidak boleh lebih mahal ketimbang harga impor dibayar Pertamina. “Di sinilah muncul angka MOPS plus 1,5-2 persen. Dari mana asalnya? Saya tidak tahu,” kata Ichsanuddin.
Perkara ini belakangan memunculkan masalah. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan indikasi kerugian negara sebesar Rp 2 triliun. Kerugian muncul lantaran TPPI tak menyetorkan keuntungan hasil penjualan kondensat milik negara. Akibatnya, dia petinggi BP Migas dan seorang pejabat TPPI dijadikan tersangka oleh polisi.