Proyek PJU Sidoarjo Pernah Jadi Bancakan

1132

Proyek pengadaan penerangan jalan umum (PJU) di Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Pemkab Sidoarjo pernah menjadi langganan bancakan. Sebelum 2013, proyek dengan anggaran cukup besar itu dibuat dalam paket kecil dan tanpa lelang. Total ada 200 pekerjaan yang dilakukan dengan penunjukan langsung (PL). Akibatnya, pekerjaan menjadi tidak optimal.

Fakta tersebut terungkap dalam sidang lanjutan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Gedung Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga pada Kamis (16/6) hingga Jum’at petang (17/6). Kepala DKP Pemkab Sidoarjo M. Bahrul Amig dan sejumlah kelompok kerja lelang dihadirkan sebagai saksi.

Dalam sidang tersebut, Amig menceritakan kronologi yang mengakibatkan lelang pengadaan PJU dipermasalahkan. Dia menjabat Kepala DKP Sidoarjo sejak pertengahan 2013. Saat itu semua proyek PJU dikerjakan dengan mekanisme penunjukan langsung. “Total ada 200 penunjukan,” katanya.

Dengan model tersebut, pengerjaan proyek menjadi parsial, tidak terkontrol, dan tidak terkonsep dengan baik. Di lapangan pun kerap ditemukan masalah. Sebab, masing-masing pelaksana proyek hanya mengerjakan wilayah mereka sendiri tanpa memikirkan cara untuk terhubung dengan wilayah lain. Belum lagi waktu habis hanya untuk menandatangani dokumen penunjukan langsung yang sangat banyak itu.

Karena itu, Amig berinisiatif membuat proyek tersebut dengan sistem paket. Rencana tersebut kemudian dikonsultasikan dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). “Mereka mendukung penunjukan tidak langsung. Itu tidak dianggap menyalahi prosedur,” ucapnya.

Atas dasar itulah, DKP membuat empat paket pengadaan PJU. Pembuatan empat paket tersebut disesuaikan dengan pembagian empat wilayah eks Kawedanan Sidoarjo. Proyek itu pun berjalan lancar. Bahkan, DKP sudah menandatangani memorandum of understanding (MoU) dengan Kejaksaan Negeri (Kejari) Sidoarjo.

Hanya, Amig bingung ketika penunjukan langsung diubah dengan sistem paket dan dipermasalahkan KPPU. Alasannya, usaha-usaha kecil tidak diakomodasi. Semua pihak di birokrasi pun menjadi tidak nyaman saat menjalankan pekerjaan.

Dia kemudian mencontohkan, sebanyak 25 di antara 50 orang yang tergabung dalam kelompok kerja pengadaan sudah mengundurkan diri. Sisanya sedang goyah dan mengancam akan melakukan hal serupa. “Bayangkan jika tidak ada yang mau menjadi kelompok kerja pengadaan. Apa lelang tidak berhenti total? Kalau begitu, siapa yang dirugikan?” tuturnya.

Amig menyebutkan, sebenarnya mekanisme tender sudah diatur secara lengkap. Misalnya, pihakyang tidak puas dengan hasil lelang bisa mengajukan keberatannya. “Jangan sampai KPPU menjadi hantu bagi SKPD yang melakukan pengadaan di daerah,” ucap mantan Camat Taman itu.

[Selengkapnya …]