Sidang lanjutan kasus korupsi dana hibah pokok pikiran (Pokir) APBD Pemprov Jatim, melibatkan terdakwa, Wakil Ketua DPRD Jatim nonaktif Sahat Tua P Simandjuntak, dengan agenda pemeriksaan ahli meringankan terdakwa, di Ruang Sidang Candra Kantor Pengadilan Tipikor Surabaya, Selasa (22/8/2023).
Kali ini, kesaksian ahli yang meringankan untuk terdakwa merupakan Pakar yang menjabat Guru Besar Hukum Tata Negara, Prof Dr Eko Sugitario SH. Dalam kesaksian dihadapan majelis hakim persidangan, Eko Sugitario menerangka, terdapat perbedaan makna antara hibah dan pokir.
Jika mendasarkan konsep pada hukum perdata. Dana hibah tak perlu dibuatkan laporan pertanggungjawaban atas peruntukan dananya. Namun, berbeda dengan dana hibah yang bersumber dari uang negara.
Eko menyebut, sisa dana penggunaan hibah harus dikembalikan. Jika tidak, tentu perbuatan tersebut sudah dianggap sebagai perbuatan tindak pidana penggelapan. Oleh karena itu, lanjut Eko, setiap dakwaan dugaan tipikor harus disertai dengan bukti analisis kerugian negara yang disampaikan BPK.
“Jangan diambil. Kalau diambil, ya penggelapan. Berarti, yang menyatakan kerugian BPK. Surat Edaran MA. Artinya, dakwaan itu harus disertai dengan bukti kerugian negara. Munculnya, kerugian negara yang memeriksakan, BPK,” katanya seusai sidang.
Disinggung mengenai kasustik pejabat legislatif yang memberikan dana hibah kepada masyarakat yang bukan termasuk wilayah daerah pemilihannya. Eko menegaskan, hal tersebut bukanlah suatu permasalahan. Meninjau kasus dugaan Tipikor yang dilakukan terdakwa Sahat. Sosok Sahat merupakan pejabat legislatif wilayah Provinsi Jatim. Sehingga, siapapun kalangan masyarakat penerima hibahnya. Asalkan, masih tercatat sebagai warga Provinsi Jatim. Yang dilakukan Sahat, sah-sah saja.
“Hibah di luar dapil. Ini gak ada hubungannya dengan dapil. Boleh. Kalau kabupaten ya kabupaten aja. Kalau kota ya kota aja. Boleh. Kalau kasus sahat, DPRD jatim, ya pokoknya Jatim. Jangan Jateng,” pungkasnya.
Sementara itu, JPU KPK Arif Suhermanto mengatakan, pihaknya tak menampik sempat mendapati adanya perbedaan pendapat dan pemahaman mengenai definisi kata hibah. Kendati demikian, konteks pemahaman hibah versi ahli dan JPU, tetap dalam koridor pemaknaan umum yang bersifat sama. Bahwa sang ahli menggunakan istilah penggelapan atas perbuatan mengambil dana sisa hibah. Namun, dalam konteks hukum pidana tipikor, perbuatan tersebut merupakan bentuk lain dari korupsi.
“Kalau dicocokkan kasus ini. Entah ada pungutan liar atau ijon fee. Yang jelas ada pungutan 20 persen oleh terdakwa. Yang disebut ahli penggelapan. Maka dalam konsep Tipikor, ya korupsi itu,” ujar Arif seusai pelaksanaan sidang.
Sekadar diketahui, Wakil Ketua DPRD Jatim nonaktif Sahat Tua P Simandjuntak diduga menerima uang senilai Rp39,5 Miliar, sehingga didakwa dua pasal berlapis dalam kasus korupsi dana hibah APBD Pemerintah Provinsi Jatim. JPU KPK Arif Suhermanto menyebutkan, Sahat terbukti telah menerima suap dana hibah dari dua terdakwa sebelumnya yaitu Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi selaku pengelola kelompok masyarakat (pokmas) tahun anggaran 2020-2022
Dakwaan pasal Sahat, pertama terkait tindak korupsi, kolusi dan nepotisme dalam Pasal 12 huruf a Jo Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Dakwaan kedua terkait suap, Pasal 11 Jo Pasal 18 UU RI No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Kemudian, dikutip dari Kompas.com, dua terdakwa kasus penyuapan pimpinan DPRD Jatim Sahat Tua Simandjuntak, Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi alias Eeng, telah divonis dua tahun enam bulan penjara oleh hakim Pengadilan Tipikor Surabaya.
Dalam amar putusan yang dibacakan Hakim Ketua Tongani, terbukti menyuap pimpinan dewan terkait dengan dana hibah. Kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a UU RI No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Hal yang memberatkan vonis terhadap keduanya. Yakni, tidak mendukung upaya pemerintah untuk memberantas tindak pidana korupsi. Namun, ada hal yang meringankan vonis keduanya, yakni menjadi pelaku yang berkerja sama dalam pengungkapan tindak pidana korupsi.
Profil Sahat Tua Simanjuntak
Dikutip dari Kompas.com, Sahat merupakan anggota DPRD Jatim dari Fraksi Golongan Karya (Golkar) Daerah Pemilihan IX yang meliputi Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Magetan, dan Ngawi. Sahat juga menduduki jabatan sebagai Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Jatim periode 2020-2025. Penetapan Sahat sebagai Sekretaris DPW Partai Jatim disahkan dalam Keputusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Nomor: SKEP-8/DPP/GOLKAR/IV/2020.
Sebelumnya, terdakwa juga menjabat anggota DPRD Jatim periode 2009-2014 dan periode 2014-2019. Perjalanan Sahat di dunia politik dimulai ketika ia menempuh studi di Fakultas Hukum (FH) Universitas Surabaya (Ubaya) pada 1998 silam. Sosok yang menurutnya memberikan inspirasi untuk terjun ke politik adalah Ketua DPD Golkar Jatim Martono dan anggota DPR RI dari Golkar Anton Prijatno.
Ia mengaku sering berbicara dengan dua orang tersebut, termasuk masalah yang dihadapi ketika tegabung dalam Senat Mahasiswa. Dari situlah, Sahat sempat menduduki posisi sebagai Ketua Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi Ubaya pada tahun 1990 silam. Perjalanan politik anggota DPR Dapil 9 Jatim ini lantas berlanjut ke Golkar setelah memutuskan bergabung dengan partai ini sejak 1990.
Tiga Kali Gagal Nyaleg
Sahat diketahui beberapa kali sempat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, namun gagal. Hal tersebut terjadi pada Pileg Jatim 1997 dan 1999 serta Pileg DPR RI 2004. Diketahui, Sahat baru terpilih sebagai anggota DPRD Jatim pada Pemilu 2008 mewakili daerah pemilihan (dapil) 1. Ia juga sempat ditunjuk sebagai Ketua Fraksi DPRD Jatim 2014-2019 bahkan berlanjut hingga menduduki kursi Wakil Ketua DPRD Jatim hingga saat ini.
Harta kekayaan Sahat
Dalam LHKPN yang dilaporkan kepada KPK pada 2021, Sahat tercatat mempunyai tiga bidang tanah dan bangunan yang jika ditotal semuanya bernilai Rp7,4 miliar serta kas dan setara kas senilai Rp1,5 miliar. Tak hanya itu, Sahat juga menyimpan beberapa mobil mewah, salah satunya adalah Toyota Vellfire (2015) yang bernilai Rp 600 juta.
Mobil lain yang dimilikinya, yakni Toyota Voxy (2018) senilai Rp430 juta dan Mercedes Benz E250 (2016) senilai Rp700 juta. Jika ditotal, Sahat mempunyai kekayaan sebesar Rp10,7 miliar
Sumber: Jatim.TribunNews.com