Bojonegoro Cabut Izin Gangguan Lapangan Pad C Blok Cepu

922

Pemerintah Kabupaten Bojonegoro membatalkan izin gangguan (hinder ordonantie) Blok Cepu di Lapangan Banyu Urip Pad C yang dikelola Exxon-Mobil Cepu Limited sejak 16 Februari lalu. Alasannya, antara lain, perjanjian sewa tanah kas Desa Gayam, Kecamatan Gayam, untuk pengembangan lapangan migas Banyu Urip telah berakhir sejak 11 Februari.

Hingga kini, belum ada kesepakatan lagi antara pemerintah desa serta Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Secara hukum, kegiatan di atas TKD Gayam itu termasuk ilegal.

Keputusan itu mengejutkan SKK Migas. Kepala Kelompok Kerja Formalitas SKK Migas Didik Sasono Setyadi, Senin (22/2) menyatakan, belum ada sikap resmi SKK Migas terkait pembatalan itu. Pihaknya akan berkoordinasi dengan Pemkab Bojonegoro.

Menurut Didik, sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, pemerintah daerah (bupati) mengemban amanah undang-undang untuk menjamin tersedianya tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum (dalam hal ini untuk lapangan Banyu Urip). Seharusnya pemkab meminta pemerintah desa segera membantu pemilihan calon tanah pengganti tanah kas desa (TKD), bukan mencabut izin HO.

Pencabutan izin HO itu tertuang dalam Surat Keputusan Kepala Badan Perizinan Bojonegoro Nomor 503/193/SK.HO/208.412/2016 bertanggal 16 Februari 2016. Isinya, pertama, mengubah Keputusan Bupati Bojonegoro Nomot 503/193/SK.HO/208.412/2011 pada 17 November 2011 tentang Izin Gangguan Pengembangan Lapangan Migas Banyu Urip. Kedua, mencabut sebagian legalitas izin gangguan yang memanfaatkan TKD Gayam seluas 130.017 meter persegi (13 hektar). Keputusan ini berlaku sejak 16 Februari.

Bupati Bojonegoro Suyoto mendesak SKK Migas segera menyelesaikan tukar guling TKD Gayam. Dalam perjanjian dengan BP Migas (kini SKK Migas) dan ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) empat tahun lalu, ada enam masalah sosial yang harus dipenuhi, salah satunya penuntasan tukar guling TKD Gayam. Sampai sekarang persoalannya tidak beres, bahkan statusnya masih sewa dan belum ada lahan pengganti.

Menurut Suyoto, pencabutan izin HO itu sekaligus mengirim pesan agar semua pihak serius dan hanya berpikir aspek legal, dengan tanpa mengesampingkan aspek sosial. Dukungan sosial sangat penting untuk mengawal dan mendukung proyek migas di Bojonegoro, apalagi proyek pembangunan fasilitas produksi gas Jambatan Tiung Biru baru akan dimulai.

“Pemerintah, EMCL, dan kita semua ingin target produksi sukses. Namun, bukan berarti boleh meremehkan hak desa. Waktu tiga tahun sudah lebih dari cukup. Kami telah kirim surat ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengevaluasi dan mendampingi proses tukar guling TKD Gayam,” tutur Suyoto.

Hasil koordinasi dengan BPK serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang diketahui, penggunaan tanah untuk kepentingan umum harus melalui pengadaan, tidak boleh melalui sewa, sesuai amanat UU No. 2/2012.

[Selengkapnya …]