WTP Tak Jamin Bebas Korupsi

937

Pejabat Makin Pintar, yang Dikorupsi Bukan Anggaran Negara

Masih banyaknya entitas yang belum memperoleh opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan mengindikasikan penyimpangan anggaran negara masih terjadi. Meskipun demikian, tidak berarti dengan opini WTP telah bebas dari korupsi.

Dalam seminar bertajuk “Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan: Good Governance dan Pencegahan Korupsi”, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (6/3), Ketua Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Harry Azhar Azis memaparkan, pada 2015, instansi pemerintah di pusat yang laporan keuangannya memperoleh opini WTP baru 65 persen. Sementara di level daerah, jumlah pemerintah daerah (pemda) yang memperoleh WTP baru 58 persen.

Jika melihat tren jumlah entitas yang memperoleh WTP sejak 2009, Harry melanjutkan, ada kenaikan signifikan pada pemda. Saat itu, jumlah pemda yang meraih WTP baru 3 persen.

Sebaliknya, untuk entitas di level pusat, perubahannya tidak signifikan seperti di level daerah. Tahun 2009, jumlah entitas yang meraih opini terbaik ddari BPK sebanyak 56 persen.

Tahun 2014, jumlah entitas yang memperoleh WTP sebenarnya pernah mencapai jumlah terbanyak dalam sejarah BPK mengaudit laporan keuangan, yaitu 71 persen. Namun, kemudian jumlah itu turun lagi pada 2015 menjadi 65 persen.

“Dengan memperoleh opini WTP, seharusnya tidak ada lagi korupsi di entitas tersebut. Namun, kenyataannya korupsi masih terjadi. Riau dan Sumatera Utara contohnya,” ujar Harry.

Di Riau, korupsi tidak terdeteksi dari audit laporan keuangan Pemerintah Provinsi Riau oleh BPK karena bukan anggaran negara yang dikorupsi. Tahun 2014, Gubernur Riau Annas Mamun ditangkap tangan oleh KPK karena menerima suap dari pengusaha kelapa sawit terkait alih fungsi lahan dan ijon proyek.

“Jadi, rupanya pemimpin daerah sudah makin pintar. Mereka tahu yang diaudit oleh BPK dan yang tidak. Bagian yang tidak itu yang mereka masuki untuk korupsi,” tambahnya.

Sementara di Sumut, BPK memang memberikan opini WTP, tetapi dengan catatan Pemprov Sumut harus bisa mepertanggungjawabkan bantuan sosial sebesar Rp 300 miliar.

“Sebenarnya dana itu cukup dikembalikan ke kas Negara. Namun, Gubernur Gatot Pujo Nugroho menggugatnya ke pengadilan dan ternyata ada upaya suap pada pengadilan, diketahui KPK dan ujungnya Gubernur ditangkap KPK,” tuturnya.

[Selengkapnya …]