Satu per satu fakta dalam kasus proyek distribusi logistik fiktif di KPU Jatim terungkap. Selain ada peran konsultan yang merekayasa laporan keuangan, para pelaku merencanakan pencairan dana agar tidak mencurigakan.
Seperti diberitakan sebelumnya, anggaran dalam proyek fiktif itu mencapai Rp 7 miliar. Dalam penyidikan lanjutan, ternyata para pelaku hanya mencairkan dana sekitar Rp 5,9 miliar. “Agar tidak ketahuan, anggaran tidak dicairkan semua,” kata sumber internal di kejaksaan.
Meski tidak dicairkan total, audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tetap bisa mendeteksi penyalahgunaan itu. Sebab, proyek distribusi logistik tersebut tidak masuk dalam daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA). Kejanggalan lain, pencairan dana itu sudah terlalu jauh dari pelaksanaan Pileg dan Pilpres 2014 pada April, sedangkan uang negara tersebut keluar pada Oktober.
Penyidik sudah menetapkan lima tersangka dalam kasus itu. Namun, saat ini mereka yakin ada pihak lain yang menerima kucuran uang tersebut. Apalagi, dari lima tersangka, uang yang ditelisik baru mencapai Rp 3,6 miliar.
Uang tersebut masuk ke kantong para tersangka yang telah ditetapkan Kejari Surabaya. Yakni Anton Yuliono, Achmad Suhari, Achmad Sumariyono, dan Nanang Subandi. Tersangka lain, Fahrudi, mengaku mendapat uang sekitar Rp 400 juta.
Saat ini penyidik masih menelusuri sisa uang yang telah dicairkan. Salah satu kunci untuk menjawab hal itu adalah kesaksian dari pihak Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Uang dari negara tersebut bisa dikeluarkan berdasar surat perintah pencairan dana (SP2D) dari KPPN. Dana itu dicairkan melalui bank operasional.
Dari hasil penyidikan diketahui, pencairan dana itu berdasar surat perintah membayar langsung (SPM-LS). Surat tersebut dikeluarkan pengguna anggaran atau kuasa pengguna anggaran yang ditujukan kepada pihak ketiga (rekanan) atas dasar perjanjian kontrak kerja (surat perintah kerja/SPK).
Bukan hanya SPK yang diperlukan pejabat pembuat surat perintah membayar (PP-SPM) untuk menerbitkan SPM. Tapi juga harus ada berita acara serah terima (BAST) barang ke rekanan dan berita acara persetujuan pembayaran (BAPP).
SPK dan lainnya tersebut biasanya tidak dibuat PP-SPM. Yang membuat perjanjian kerja dan lainnya adalah pejabat di bidang keuangan lain. Yakni, pejabat pembuat komitmen (PPK). Hanya, dalam kasus itu, penyidik perlu memastikan pejabat lain terlibat atau tidak. “Bisa jadi, pejabat lain tidak tahu menahu dan tanda tangannya dipalsukan,” imbuh sumber tersebut. Hal itulah yang masih ditelisik penyidik.
Sementara Kasi Penkum Kejati Jatim Rmoy Arizyanto mengatakan bahwa kepastian tentang adanya pelaku lain bisa diketahui setelah ada pemeriksaan saksi tambahan. Pemeriksaan itu dilakukan pekan ini. “Surat pemanggilan sudah dikirim,” katanya.
Pihak Kejari Surabaya yang mengawali penyidikan itu tak lagi dapat berkomentar banyak, sebab kasus itu telah ditangani Kejati Jatim. “Sebaiknya ditanyakan langsung ke Kejati,” kata Kajari Surabaya, Didik Farkhan Alisyahdi.