DPRD Kabupaten Pasuruan Dituding Cuci Tangan Soal Alokasi Dana Hibah untuk Desa

777

Terungkapnya penganggaran Rp 80 miliar dana hibah untuk pembangunan di desa yang terancam hangus, membuat DPRD Kabupaten Pasuruan kian tersudut.

Kritik dari Koalisi Masyarakat Pasuruan Anti Korupsi (Kompak) kian tajam, ketika menuding dewan terkesan cuci tangan setelah ketahuan modusnya meminta jatah alokasi anggaran yang bermasalah.

Koordinator Kompak, Lujeng Sudarta menanggapi keras pernyataan Wakil Ketua DPRD, Joko Cahyono yang sebelumnya mengatakan bahwa polemik dana hibah Rp 80 miliar itu karena ketidaktransparannya Pemkab Pasuruan.

Minggu (10/2), Joko menegaskan bahwa larangan penganggaran dana hibah untuk pedesaan sudah tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP BPK) RI 2018, tetapi pemkab tak pernah menyampaikannya.

“Pemkab Pasuruan tidak transparan dalam pengelolaan anggaran. Kami tidak pernah diberi informasi, bahwa LHP BPK 2018 yang diberikan kepada Bupati Pasuruan, di antaranya isinya ada larangan alokasi anggaran bantuan untuk desa,” kata Joko.

Menanggapi pernyataan Joko, Lujeng malah menilainya sebagai kesalahan logika atau logical fallacy.

Dikatakan Lujeng, LHP BPK seharusnya diterima bersamaan oleh bupati dan Ketua DPRD, artinya tidak mungkin dewan tidak tahu larangan alokasi anggaran untuk desa itu.

“Argumen (Joko) ini kental sekali apologisnya, dan terkesan dewan mau cuci tangan setelah modusnya diketahui,” tegas Lujeng.

Kedua, jelas Lujeng, seandainya pemkab tidak transparan seperti tuduhan dewan ini, maka pada dasarnya dewan tumpul dalam menjalankan fungsinya yakni controling dan budgeting.

“Tumpul ini bisa jadi karena (dewan) kurang cerdas atau justru ‘ngerumat akal’ alias bargaining. Lalu meminta jatah alokasi anggaran yang sama-sama bermasalah,” kritiknya.

Karena itu Lujeng menyampaikan bahwa Kompak tidak ingin mengatakan kasus alokasi dana hibah Rp 80 miliar ini, adalah bagian persekongkolan antara beberapa pihak. “Artinya yang terjadi, ada yang ingin berbagi area kriminal. Ini kriminalisasi duit rakyat,” sergahnya.

Sebelumnya, Joko menyayangkan karena ketidaktransparanan pemkab pada pembahasan RAPBD 2019, Banggar-Timgar kembali mengalokasikan anggaran belanja barang untuk desa yang ternyata sudah dilarang. Ia menyebut, tidak adanya pemberitahuan informasi itu terus berlanjut hingga pembahasan rancangan APBD 2019, Agustus 2018 lalu.

Sehingga Banggar dan Timgar kembali mengalokasikan belanja barang yang diserahkan ke desa Rp 82,212 miliar. ““Programnya usulan dari dewan, sebagai salah satu fungsi jaring aspirasi masyarakat. Program ini juga dilaksanakan dewan, tetapi menjadi kewenangan pemkab,” ungkap Ketua DPC Partai Nasdem tersebut.

[Selengkapnya …]